Bencana dalam Sejarah

Sejak awal tahun 2006 (dan sampai tahun ini kalau kita masukan bencana manusia di Sidoarjos) bencana besar melanda Indonesia. Gelombang Tsunami di Aceh, gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah, dan terakhir adalah banjir yang melanda kabupaten Binjai, Sulawesi Selatan adalah fenomena mencekam yang mengisi berita utama media massa Indonesia. Belum lagi ‘bencana’ yang ditimbulkan oleh Gunung Merapi dan semburan lumpur di Jawa Timur, diikuti kemudian oleh bencana Tsunami di wilayah pantai selatan Jawa. Semuanya melengkapi tahun 2006 dibawah pimpinan SBY-JK sebagai ‘tahun bencana.’

Dalam setiap bencana senantiasa terdapat kepanikan dan ketidakpastian dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat, baik mereka yang langsung menjadi korban, mereka yang menyaksikan peristiwa dari media cetak dan elektronik, termasuk juga para pejabat pemerintahan yang suka atau tidak suka, harus ‘bertindak’ atas bencana yang terjadi. Dan pada saat yang sama, setiap bencana adalah katup awal yang mengguncang kemapanan sebuah tatanan politik. Tulisan ini adalah sebuah sudut pandang yang mencoba melihat keterkaitan bencana—yang bersifat alamiah—dengan keseimbangan sebuah tatanan politik dalam pengalaman sejarah masyarakat Jawa tradisional.

***
Sebuah gagasan tentang bencana dan gejolak politik yang ditimbulkan pernah dilontarkan oleh Richard Cobb, sejarawan Inggris yang mempelajari fenomena revolusi Prancis. Dalam salah satu karya klasiknya, ia mengulas dengan cukup mendalam bagaimana dimensi politik bencana dari pengalaman sejarah Prancis pasca-revolusi pada akhir abad delapan belas [Cobb, 1972]. Cobb dalam studinya tentang bencana kelaparan di Prancis, mengungkapkan bahwa dari setiap aspek, senantiasa timbul perpecahan di dalam masyarakat. Bencana kelaparan membangkitkan rasa curiga dan amarah petani terhadap gaya hidup kaum bangsawan yang dianggap selalu aman dan memetik untung dari setiap bencana.

Tidak mengherankan bila istana-istana bangsawan—yang menjadi tempat penimbunan gandum dan makanan—kemudian menjadi sasaran perusakan dan penjarahan. Ringkasnya, bencana menimbulkan sebuah momentum yang mendorong rakyat jelata mempertanyakan kondisi sosial, ekonomi dan politik di lingkungan mereka. Sebuah sikap yang tentunya sulit muncul dalam kondisi normal. Di sisi lain, bencana senantiasa juga membuka pula peluang kegoyahan rejim penguasa. Penguasa berada dalam situasi serba salah. Mereka jelas tidak bisa bertindak buru-buru untuk mencegah meluasnya panik di kalangan rakyat, atau untuk mencegah tindakan sembrono. Tetapi pada sisi lain, sikap berhati-hati dilihat pula oleh rakyat kebanyakan sebagai kelambanan dan tidak peduli atas keluh kesah mereka.

Dengan demikian, menjadi menarik bagi kita memperhatikan rangkaian bencana yang melanda tanah air kita dan sosok pemerintahan SBY-JK sekarang ini. Jelas bahwa beberapa elemen yang menjadi perhatian Cobb tentang reaksi pemerintah di Prancis berhadapan dengan bencana muncul di permukaan. Bencana dapat menjadi pintu awal yang membuat legitimasi dan kinerja pemerintahan SBY-JK dipertanyakan, bukan saja oleh kalangan elite politik yang beroposisi terhadap keduanya, tetapi juga bagi rakyat kebanyakan yang sebelumnya menjadi pendukung mereka. Pemerintah dengan mudah dapat dipersalahkan—dan ini merupakan sikap alamiah yang muncul dalam pengalaman sejarah—atas sikap kelambanan dan ketidakmampuan membuat koordinasi penanganan bencana.

***
Dalam konteks Indonesia, sejarah nampaknya bisa menjadi sebuah pelajaran terhadap pengalaman kontemporer kita. Adalah Moertono Soemarsaid dan Benedict Anderson dalam kajian klasik mereka tentang tradisi pemikiran politik masyarakat Jawa yang menunjukkan kepada kita sebuah kaitan erat antara bencana (yang alamiah sifatnya) dengan sebuah kelanggengan sistem kekuasaan. Keduanya telah melihat dengan tajam tentang asumsi populer dalam pemikiran tradisional masyarakat Jawa mengenai kelanggengan sistem kekuasaan dan situasi aman, tentram dan makmur yang diciptakannya. Raja yang baik adalah raja yang mampu membawa tata tentrem karta raharja bagi para kawulanya. [Soemarsaid Moertono Anderson, 1972).

Pokok terpenting dalam gagasan ini adalah rakyat tidak melihat legitimasi kekuasaan dengan bagaimana kekuasaan itu dijalankan. Seorang tiran bagaimanapun tetap memiliki legitimasi di kalangan rakyatnya sejauh mereka dapat menjamin ketentraman dan kemakmuran rakyatnya. Kekuasaan seorang raja berkait erat dengan kemampuan mengamankan negeri dari begal (perampok) dan pencuri, dan membiarkan padi tumbuh subur. Sebaliknya, kegagalan menjamin kondisi-kondisi seperti itu menjadi dasar kegoyahan legitimasi kekuasaan seorang raja atau sebuah dinasti, terlepas apakah sebelumnya mereka adalah penguasa yang bijak. Ini kemudian menjadi dasar sebuah siklus naik turunnya sebuah dinasti dalam sejarah politik Jawa.

Ketika bencana terjadi—dalam berbagai bentuknya—seperti merajalelanya perampokan, panen gagal, ledakan gunung berapi, banjir dan sebagainya yang pada akhirnya berdampak pada kehidupan banyak orang, maka penantang kekuasaan baru muncul menggali dukungan dari rakyat rakyat yang berharap datangnya perbaikan dalam kehidupan mereka. Pemimpin-pemimpin baru adalah Ratu Adil yang diharapkan dapat menyelamatkan rakyat dari tekanan kehidupan dibawah penguasa lama. Sayangnya, dalam kebanyakan kasus, penguasa-penguasa baru yang muncul dengan membawa harapan mesianis dalam benak rakyat kebanyakan tidak dapat memenuhi rasa tentram dan keamanan yang diharapkan, sekaligus juga seringkali dengan cepat melupakan janji-janji tentang beban pajak dan kerja yang lebih ringan dibanding penguasa sebelumnya.

Sebuah contoh barangkali dapat dilihat dalam peristiwa yang masih dekat dengan periode kehidupan kita sekarang dalam periode kejatuhan Sukarno dan pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituduh komunis pada tahun 1965. Dalam terminologi populer, peristiwa itu yang menyamakannya dengan kedahsyatan ledakan gunung berapi yang berdampak besar bagi kehidupan, meruntuhkan tatanan dan kebiasaan lama sampai sebuah tatanan baru muncul menggantikannya. Sama seperti kehancuran yang ditimbulkan sebuah bencana yang ditimbulkan alam dan lambat laun kemudian kehidupan baru muncul di atas puing-puing lama.

Penjelasan terhadap pertanyaan bagaimana mungkin Soekarno yang kharismatis itu dengan cepat kehilangan pamor dan disusul oleh gelombang kekerasan besar yang melanda wilayah pedesaan, setidaknya dapat dijelaskan dalam periode tahun-tahun terakhir kekuasaan Soekarno. ‘Bencana-bencana’ kecil sebelumnya telah muncul melalui kegagalan panen sepanjang tahun 1964, inflasi yang melonjak sampai 600%, dan kelangkaan sandang pangan memasuki bulan Agustus 1965.

Sekarang kita bisa memahami salah satu faktornya dalam psikologi populer di kalangan rakyat yang semakin lelah atas rangkaian ‘bencana’ kecil yang menimpa mereka. Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan cepat runtuh. Pendukungnya yang begitu militan dalam periode sebelumnya menjadi begitu tidak berdaya. Demikian juga dengan mereka yang sebelumnya menjadi pendukung Soekarno. Terlepas dari teror dan intimidasi, kita bisa memandangnya sebagai konsekuensi logis revolutionary fatigue atas gelombang ‘bencana kecil’ yang mendera kehidupan ekonomi yang mendera rakyat banyak, yang sebelumnya adalah pendukung dan aktivis-aktivis yang militan.

***

Pertanyaan yang menggoda dalam kondisi sekarang adalah apakah mungkin kelelahan yang sama—setelah rangkaian bencana menimpa—juga dialami oleh rakyat banyak yang sebelumnya adalah pendukung penuh semangat pemerintahan SBY-JK? Apakah pemerintahan ini akan tetap survive dan mampu mencari jalan keluar yang menentramkan hati rakyat kebanyakan dalam tindakan-tindakan mereka sekarang ini? Atau mungkinkah sejarah berulang? Kita menunggu jawabannya.

Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s