(Terbit di Kompas, 26 September 2001)
MENGHADAPI gelombang terorisme di dalam negeri, menyusul deklarasi perang yang diucapkan Presiden George W Bush, Pemerintah Amerika Serikat (AS) sibuk menggalang kekuatan global menghadapi musuh yang telah mereka ciptakan sendiri. Media global gencar menyuarakan terorisme yang telah menjadi “hantu” abad ini.
Pada satu sisi, pemberitaan gencar itu mengabaikan, terorisme bukanlah sebab otonom krisis perdamaian global, tetapi antitesis yang muncul dari struktur politik keamanan global. Tengoklah bagaimana sepak terjang AS di Timur-Tengah, Inggris di Irlandia Utara, dan Rusia di Chechnya. Terorisme merupakan satu titik dari mata rantai politik global yang berlandaskan pada pertarungan kepentingan modal internasional, perdagangan senjata, dan kebutuhan energi dunia.
Perang siapa?
Baik George W Bush di AS, Tonny Blair di Inggris maupun para pemimpin negara-negara industri maju lainnya menyadari, ancaman bagi kepentingan negara mereka secara nyata bukan diciptakan oleh mesin penghancur nuklir yang telah mereka ciptakan, tetapi oleh kelompok “ekstrimis”, “radikal”, “fanatik”, “fundamentalis” dan lainnya yang benihnya tumbuh di atas kebijakan-kebijakan politik, ekonomi, dan kebudayaan negeri-negeri itu di penjuru dunia. Pola umum dari target terorisme politik (untuk dibedakan dengan kriminal yang menggunakan senjata teror) dengan senjata “nuklir murah” melalui terorisme, senantiasa tertuju pada jantung kekuasaan ekonomi dan politik masing-masing negara itu. Dan ini bukan sekadar kebetulan meski jatuhnya korban penduduk sipil tidak bisa dinafikan begitu saja.
Apabila AS lalu menyatakan perang terhadap Afganistan yang dikenal sebagai kuburan bangsa-bangsa penakluk dalam sejarah dunia, pertanyaannya kemudian apa yang ingin mereka hancurkan dan apa yang ingin mereka capai? Perdamaian dan stabilitas keamanan global?
Pertumbuhan kemakmuran dan perekonomian dunia? Atau hanya sekadar politik kesempatan elite-elite politik negeri adidaya yang menghadapi panik sosial di negerinya? Tampaknya kita masih berada dalam lingkaran tanda tanya ini.
Seorang penulis bangsa Afganistan yang telah lebih tiga dekade menjadi warga negara AS menuturkan, meski ia anti pemerintahan yang berkuasa di Afganistan kini. Namun, sulit baginya menerima kenyataan, peperangan itu nantinya hanya akan menghancurkan kehidupan wong cilik yang terbatas aksesnya untuk melindungi diri dari gempuran bom udara, serangan rudal atau embargo pangan.
Kini, Afganistan telah menjadi negeri yang porak poranda akibat peperangan di atas kepentingan politik global negara-negara adidaya. PBB memperkirakan, anak-anak cacat yang ada di negeri itu berjumlah 500.000 orang dan janda dari dua juta pria Afganistan yang tewas dalam peperangan beberapa dekade ini. Mereka hidup dalam situasi kekurangan pangan, tempat tinggal, air bersih. Ini adalah gejala sehari-hari dengan infrastruktur hampir men-dekati titik nol.
Kehancuran yang diciptakan serbuan teror atas gedung WTC dan Pentagon serta korban yang jatuh, telah membangkitkan kebencian terhadap segala sesuatu yang mendekati simbolisasi teror itu, termasuk kebencian terhadap Osama bin Laden dan Afganistan. Dalam suatu talk-show radio dikemukakan, perang yang dilancarkan akan menghujani Afganistan dengan bom udara yang akan mengembalikan peradaban dan kebudayaan negeri itu kembali ke peradaban zaman batu.
Namun, apa dan siapa yang hendak dihancurkan? Membuat penduduk negeri itu menderita? Hal itu sudah menjadi kebiasaan hidup bagi rakyat Afganistan dalam dekade belakangan ini! Menghancurkan sekolah, rumah sakit, atau infrastruktur? Bahkan sebelum bom berjatuhan, tujuan itu sudah tercapai! Cara yang mungkin tersisa adalah melakukan peperangan di darat. Namun, sulit mengharapkan peperangan semacam ini akan berlangsung singkat. Perang darat di Afganistan telah menjadi tamparan memalukan bagi Uni-Soviet saat itu yang harus mundur akibat demoralisasi pasukan mereka.
Perdamaian
Apabila tujuan dari peperangan itu adalah menghancurkan basis kekuatan fundamentalisme keagamaan yang disebarkan oleh pemerintahan Taliban di Afganistan, yang dianggap lahan subur terorisme internasional saat ini, tentu persoalannya menjadi lain.
Pemerintah AS tidak hanya akan berperang dengan Taliban di Afganistan, tetapi juga menjadikan Pakistan sebagai target selanjutnya.
Tariq Ali, seorang penulis kebangsaan Pakistan yang tinggal di Inggris menyatakan, sesungguhnya bukan kekuatan Taliban sendiri yang membawa mereka ke tangga kekuasaan di Kabul. Semangat keagamaan mereka didukung kekuatan senjata dan tenaga manusia angkatan darat Pakistan yang menjadi “sukarelawan” saat peperangan antarfaksi di Afganistan menyusul kejatuhan rezim boneka Kabul. Bahkan bisa dikatakan, kemenangan Taliban adalah kemenangan angkatan darat Pakistan di Afganistan.
Saat ini, Jendral Musharraf harus hati-hati dengan tidak menunjukkan dukungan berlebihan terhadap AS dengan kekhawatiran perang saudara di negerinya sendiri. Kebangkitan kekuatan Islam di Pakistan telah menjadi bagian tak terpisahkan jaringan madrasah yang tidak hanya mengajarkan masalah keagamaan semata, termasuk kemampuan berperang dan menggunakan senjata modern. Sebanyak 2.500 madrasah menjadi tempat subur bagi 225.000 kekuatan yang siap mati demi keyakinan. Dalam krisis Afganistan akhir dekade 1980-an, mereka adalah tenaga utama yang disusupkan angkatan bersenjata Pakistan melintasi perbatasan dan bergabung dengan faksi radikal dalam persaingan politik saat itu, yaitu Taliban.
Sulit untuk mengatakan bila peperangan itu nantinya hanya terbatas pada peperangan di Afganistan. Jelas lebih banyak negara dan kekuatan di luar Afganistan yang akan terlibat dalam peperangan itu. Dan perang yang dicanangkan hanya akan menciptakan krisis hubungan internasional yang lebih parah.
Karena itu, strategi menghadapi terorisme internasional saat ini seharusnya dilandaskan pada persoalan bagaimana menciptakan keseimbangan global yang bersendikan perdamaian dan kemakmuran bersama antarbangsa dalam politik global dibanding sekadar unjuk kekuatan.