Membicarakan Indonesia

Review Buku: Robert E Elson. The Idea of Indonesia: A History. New York: Cambridge University Press, 2008. xxvi + 365 halaman (Terbit di Prisma Vol. 28, No. 2, Oktober 2009)

Apakah Indonesia? Bagaimana wujud dan bentuknya? Bagaimana harapan-harapan tentang sosok ideal Indonesia seperti pernah mengisi imaji para perintis dan tokoh pendiri Republik Indonesia? Dan bagaimanakah kenyataanya kini? Deretan pertanyaan itu muncul ketika membolak-balik karya terbaru Robert Edward Elson berjudul The Idea of Indonesia: A History.

Elson memaparkan seluruh pokok pikirannya mengenai gagasan tentang Indonesia dalam sebuah uraian yang bersifat kronologis—penuh data dan informasi menarik—dalam rentang waktu sekitar satu abad. Dimulai dengan bagaimana kata Indonesia pertama kali lahir di kalangan ahli etnologi Barat pada akhir abad 19 dan  transformasinya menjadi sebuah wacana politik yang mengorganisir pemikiran kalangan aktivis pergerakan pada awal abad 20 yang mengisi bagian awal buku ini. Dilanjutkan kemudian dengan perkembangan gagasan tentang Indonesia ketika negara Republik Indonesia lahir, prakteknya dalam realitas sejarah sepanjang pemerintahan Orde Lama sampai dengan keruntuhan rejim Orde Baru, dan juga perdebatan tentang gagasan itu dalam periode reformasi sekarang ini.

Pada satu sisi, pemaparan secara kronologis panjang seperti ini memang melelahkan. Tetapi paling tidak kita mendapatkan kelengkapan ‘gagasan tentang Indonesia’ dengan keragaman tafsir dan tindakan dalam situasi kesejarahan yang berbeda di setiap periodenya. Kecermatan dan kekayaan data yang disajikan Elso dalam buku ini setidaknya membantu pembaca yang tekun memahami problem yang muncul di setiap jaman dan kaitannya dengan pembicaraan mengenai ‘bagaimana seharusnya’ Indonesia ‘diperdebatkan dan diperjuangkan’, tentu saja oleh masing-masing orang dan kelompok dengan latar belakang ideologi, agama, organisasi politik, ras dan suku bangsa berbeda dalam kurun waktu berbeda. Di sini kita mendapat rangsang  intelektual dari buku yang ditulis Elson untuk kemudian menempatkan pemikiran itu dalam upaya menjawab persoalan masyarakat Indonesia masa kini.

Kaum Intelektual dan Gagasan Tentang Indonesia

Sesuai dengan judul yang mengusung ‘gagasan tentang Indonesia’, tak dapat dihindari bila buku ini mengarahkan perhatian secara mendalam terhadap produser gagasan tersebut sepanjang periode sejarahnya: yaitu kaum intelektual Indonesia. Jadi, kita mendapatkan gambaran yang cukup rinci dalam buku Elson tentang bagaimana pembicaraan dan tindakan kaum intelektual Indonesia ketika mengusung sebuah konsep yang pada akhirnya menjadi pijakan sebuah negara modern yang melingkupi wilayah bekas jajahan Hindia Belanda pada awal abad 20.

Seperti pada bagian awal bukunya, Elson mencurahkan perhatian yang cukup besar pada sosok tiga serangkai, yaitu Suwardi Suryaningrat, Dr. Douwes Dekker dan dr. Tjipto Mangunkusumo (orang paling jujur di seluruh Hindia saat itu, meminjam kata-kata Elson) yang dalam uraian Elson memainkan peran penting dalam menggulirkan pemikiran tentang sebuah masyarakat ideal yang jauh lebih besar dari masyarakat yang sebelumnya mereka berasal (seperti Jawa, Indo, dan etnis pribumi lainnya). Dari mereka kemudian gagasan ini menjadi pembahasan mendalam di kalangan para mahasiswa Indonesia di Belanda saat itu yang kemudian ‘atas pengalaman dan nasib yang sama’ mendirikan organisasi bernama Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada awal abad 20. Dalam era ini pula Sukarno, kemudian presiden pertama Indonesia, dan para founding-fathers merumuskan cita-cita ideal tentang masyarakat Indonesia dan sekaligus produser gagasan tentang Indonesia yang paling bersemangat untuk memperjuangkannya sebagai sebuah anti-tesa terhadap kolonialisme Belanda.

Dalam kaitan ini, dengan memperhatikan latar belakang sosial dan politik para produser gagasan itu, dan sekaligus isi yang tertuang dalam pemikiran mereka, tidak dapat dipungkiri bahwa gagasan tentang Indonesia adalah sebuah produk pemikiran bersifat modern yang bersumber pada tradisi pemikiran filsafat dan politik Barat.  Secara sosial, rata-rata dari mereka berlatar belakang serupa, yaitu lahir dari keluarga elite dan tinggal di kota-kota besar seperti Batavia, Semarang, Surabaya, termasuk juga Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Selain berusia muda, karakteristik umum yang juga dimiliki adalah posisi sosial mereka yang “bebas” dari pertautan dengan sistem kekuasaan saat itu, atau sering kali menjuluki diri sebagai “kaum merdika”. Mereka bekerja di luar tubuh pemerintahan dan birokrasi. Profesi mereka — selain sebagai tokoh pimpinan pergerakan — umumnya adalah jurnalis, dokter, pengacara, atau guru sekolah-sekolah partikulir. Sifat “di luar negara” itu tampaknya menjadi salah satu latar belakang yang memberi peluang untuk berpikir bebas menghasilkan gagasan baru.

Tidak dapat disangkal bahwa peran kaum intelektual sebagai tokoh pergerakan dan pembaru dalam masyarakat dalam sejarah dunia bukanlah gambaran khas Indonesia saja. Kita bisa mendapatkan figur-figur sebanding, seperti Nehru di India, Zhou Enlai dan Mao Zedong di Cina, Jose Rizal di Filipina, atau Ho Chi Minh di Vietnam, ketika mereka menggulirkan pemikiran masing-masing dalam perjuangan anti-kolonial dan pembebasan rakyat. Dan sepertinya sudah menjadi ciri dari perkembangan sejarah negara-negara baru yang merdeka setelah kolonialisme Eropa, para intelektual itu yang kemudian menjadi pemimpin atau kepala pemerintahan masyarakat baru yang lahir dari proses dekolonisasi (melalui revolusi, perang atau kesepakatan).

Perbedaan signifikan dengan kalangan intelektual Indonesia saat itu adalah pertama-tama mereka harus “menciptakan terlebih dahulu” sebuah komunitas politik yang menjadi “tempat berpijak” bersama bernama Indonesia, yang bagaimanapun masih berupa gagasan sebelum menjadi realitas praktis setelah proklamasi kemerdekaan. Indonesia, sebagaimana diuraikan Elson dengan mengutip pernyataan Ali Sastroamijoyo, “existed as a good political idea whose time had (just about) come, and through which they found a new and modern sense of identity…” (hal. 70). Jadi, sebuah bayangan tentang identitas modern itulah yang mengisi “kebaruan” sekaligus membedakan posisi mereka dengan para pendahulunya, baik dalam kritik maupun aksi melawan kolonialisme Belanda di Hindia-Belanda. Di sini, kisah perjuangan anti-kolonial dari para tokoh pergerakan Indonesia memiliki karakteristik unik dibanding rekan-rekan mereka di Benua Asia dan Amerika Latin — dengan kemungkinan pengalaman pergerakan anti-kolonial di Afrika yang sedikit banyak memiliki problem relatif dekat).

Dalam uraian Elson, setidaknya kita bisa mendapatkan gambaran yang cukup mendasar tentang bagaimana gagasan tentang Indonesia berkembang. Pertama, dalam proses perjalanan sejarahnya, ide mengenai Indonesia telah menjadi sebuah “bahasa baru” dalam pergerakan politik nasional saat itu (sejak tahun 1930-an hingga 1940-an) dengan memberi ruang baru menggantikan pengalaman periode pergerakan anti-kolonial dan anti-feodal sebelumnya, yang dapat dikatakan sebagai “westernisasi” atau “modernisasi” masyarakat di Hindia Belanda yang masih dicengkeram tradisi feodal yang kolot, dan batasan-batasan rasialis masyarakat kolonial. Kedua, melalui pencetusan ide tersebut, ada dorongan kuat bagi kelompok-kelompok etnis yang berbeda untuk membentuk sebuah “ruang politik baru”; menerima ide Indonesia berarti pula penerimaan kalangan pergerakan untuk melepaskan diri dari persoalan-persoalan daerah, lokal, dan parokial. Ketiga, ruang politik baru itu selanjutnya menuntut sebuah bentuk “kompromi” di antara kekuatan-kekuatan politik yang berbeda untuk membatasi diri dari kepentingan-kepentingan “kecil”, atau keinginan sendiri, demi membangun sebuah bentuk masyarakat yang lebih besar, yaitu Indonesia.

Mengutip ulasan seorang sejarawan Indonesia, Onghokham, gagasan mengenai Indonesia saat itu telah memunculkan sebuah “Hindia-Belanda yang Indonesia”, yang menempatkan “ideologi-ideologi politik” milik para pemimpin aliran sosialisme, komunisme, liberalisme, dan demokrasi tidak lebih sebagai sebuah “kode moral” dalam perjuangan mereka, dikalahkan oleh sebuah ide lebih besar yang “secara konsepsional mengorganisasi masyarakat” berbeda dalam artian sejarah dan tradisi dalam kebaruan menjadi Republik Indonesia seperti kita kenal sekarang. “Ide Indonesia dengan segala unsur persatuannya berarti melepaskan diri dari persoalan-persoalan daerah, lokal dan kepribadian [sic!].” Dengan demikian, Indonesia menjadi sebuah ruang politik baru yang meletakkan “[k]ompromi dari berbagai kepentingan yang harus dicari, keinginan-keinginan sendiri harus dibatasi untuk masyarakat yang lebih besar …”[1] Dan, ikatan itu terletak pada konsepsi-konsepsi modern yang menempatkan persoalan keadilan, demokrasi dan toleransi dalam pusaran utama pembahasan mengenai Indonesia.

Keadilan, Demokrasi dan Toleransi

Dalam kaitan ini, gagasan tentang Indonesia adalah sebuah ‘gagasan baru’ awal abad 20 yang meninggalkan sebuah tradisi dan kebuadayaan panjang masing-masing suku bangsa tempat para produser pemikiran itu dilahirkan. Sebagai konsekuensinya, upaya-upaya merumuskan rentang sejarah keberadaan masyarakat Indonesia melebihi rentang periode tersebut menjadi tidak lebih dari sekedar fiksi dan romantisme para pengucap dan produsennya. Di sini kita bisa merujuk karya M. Yamin yang mencoba menawarkan rentang panjang ribuan tahun sosok masyarakat Indonesia sampai periode ketika kejayaan kerajaan Majapahit masih berdiri.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana ‘isi’ dari bentuk masyarakat ideal yang dicita-citakan itu berkembang dalam perjalanan sejarahnya? Di sini kita mendapat gambaran yang membuat pembacaan terhadap karya Elson ini menjadi lebih menarik dalam bab-bab selanjutnya buku ini. Khususnya, ketika pembahasan mengenai “pengorganisasian masyarakat Indonesia” itu bersinggungan dengan pengalaman kesejarahan beragam suku (seperti Papua Barat yang hingga kini masih merupakan persoalan pelik), agama, dan juga ras yang berbeda. Dalam kaitan itu, membaca pembahasan Elson dalam bab-bab ini akan menjadi lebih mudah bila pembaca mencoba mempertemukannya dengan masalah-masalah kontemporer yang sampai sekarang masih diperdebatkan. Kata kuncinya adalah demokrasi, yaitu sebagai sebuah institusi yang dapat mempertahankan gagasan tentang Indonesia seperti pernah dicetuskan pada periode awal pembentukannya, dan dapat menopang pelaksanaannya secara praktis.

Pada bagian itu, Elson kemudian menunjukkan bagaimana kegagalan proses institusionalisasi demokrasi — sebagai salah satunya — menjadi dasar bagi ketegangan dan kekecewaan (yang melahirkan penentangan) atas Indonesia sebagai sebuah gagasan yang pernah dilontarkan pada dekade-dekade sebelumnya. Dari sudut pandang Elson, kita memperoleh gambaran kelabu tentang segala perkembangan politik yang ada, dan kemudian menjadikan “ketergantungan pada pemimpin” dan “sifat para pemimpin” sebagai sumber masalah. Dengan kata lain, proyek politik Sukarno menjadi sebuah proyek gagal yang “buahnya berakhir pada banjir darah” dan juga “politik otoriter” Orde Baru (hal. 238).

Bagaimanapun juga, penilaian ini perlu dihadapkan dengan cara pandang yang berbeda untuk menjaga kita tetap “berjarak” dari pandangan-pandangan Elson.  Misalnya, jawaban terhadap pertanyaan yang membentuk periode tersebut bisa dilihat dalam upaya pemerintah Republik membangun sebuah “budaya baru Indonesia” dengan instrumen terpentingnya adalah lembaga-lembaga pendidikan dan partai politik. Setelah pemerintah Republik terkonsolidasi pada 1949, upaya besar pertama dalam mencipta budaya baru tersebut adalah kesungguhan dari pemerintahan baru untuk membangun dan memperluas lembaga-lembaga pendidikan melalui pendirian gedung-gedung sekolah formal, termasuk pelatihan guru-guru yang siap mengisi infrastruktur pendidikan massal tersebut.

Komitmen dan langkah praktis yang dilakukan Republik cukup menakjubkan. Apabila pada dekade awal tahun 1950-an jumlah orang Indonesia yang bisa baca-tulis diperkirakan hanya sebesar 10 persen dari total jumlah penduduk, maka dalam dekade selanjutnya kita mendapatkan angka perkiraan jumlah penduduk yang mampu baca-tulis mencapai 80 persen dari seluruh penduduk. Dapat dikatakan, sekolah-sekolah dasar hampir tersebar secara merata di setiap pelosok kampung di Indonesia. Pembangunan gedung-gedung sekolah tersebut boleh dibilang merupakan wujud konkret dari setiap jargon politik dalam proses nationbuilding yang menjadi tema politik dan diperjuangkan penuh semangat oleh para pemimpin politik di Indonesia saat itu.

Di samping lembaga pendidikan, partai politik adalah instrumen penting dalam menanamkan budaya baru Indonesia. Pembentukan parlemen dan pelaksanaan pemilihan umum pertama pada 1955 adalah sebuah indikator penting tentang bagaimana masyarakat dari seluruh pelosok Indonesia — yang terpisah oleh jarak dan kendala geografis — berpartisipasi dalam sebuah dinamika pertarungan politik bersifat nasional. Partai-partai politik pemenang pemilu saat itu adalah Partai Nasional Indonesia (meraih 22,3 persen suara), Masjumi (20,9 persen), Nahdlatul Ulama (18,4 persen), dan Partai Komunis Indonesia (16,4 persen). Dengan memperhatikan kinerja masing-masing partai, setidaknya dapat dipetik dua kenyataan penting mengenai konteks dan semangat zaman yang mewarnai dinamika politik saat itu. Pertama, partai politik menjadi instrumen yang efektif mengisi kekosongan organisasi-organisasi sosial masyarakat Indonesia yang terhambat oleh penindasan kolonial. Kedua, partai politik menjadi instrumen penting dalam mengisi proses pembangunan bangsa dengan program dan agenda kegiatan ekonomi dan politik yang nyata.[2]

Ringkasnya, kemerdekaan Indonesia hanya akan menjadi makna yang kosong apabila rakyat saat itu terpisah dalam proses nationbuilding. Instrumen-instrumen demokrasi, baik partai politik maupun parlemen, misalnya, menjadi penghubung jutaan massa rakyat di pelosok perdesaan dengan program-program pembangunan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di tingkat nasional. Dalam kaitan itulah arti penting institusi demokrasi dalam mempercepat tumbuhnya kesadaran berbangsa setelah Indonesia merdeka. Dengan demikian, mobilisasi rakyat yang digerakkan serta diorganisasi oleh politik kepartaian saat itu dapat dikatakan sebagai kekuatan penting yang menciptakan Indonesia dan membangun sebuah budaya nasional Indonesia yang telah dirintis sebelumnya dalam zaman kolonial oleh founding-fathers. Pandangan ini tetap valid meski saat itu lahir gerakan pemberontakan yang disebut Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia – Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI-Permesta) dan upaya mendirikan negara Islam di Aceh, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan. Walaupun melakukan perlawanan terhadap negara Republik, saripati gerakan mereka tetap pada pertanyaan dasar semangat zaman saat itu, yakni bagaimana bentuk Indonesia yang seharusnya. Gerakan-gerakan tersebut bisa dipandang sebagai sebuah alternatif  dalam memajukan wajah Indonesia yang Islami sesuai versi mereka. Intinya, semua gerakan dan aliran politik yang tumbuh berkembang saat itu menawarkan sebuah visi ke-Indonesia-an yang dibentuk menurut gagasan dan pemikiran masing-masing kekuatan. Bagaimanapun juga, konsepsi tentang Indonesia secara politik akhirnya tetap menjadi unsur pemersatu dari seluruh pertarungan politik saat itu.

Sejauh ini telah diuraikan proses nationbuilding dan pengaruh dari masing-masing kekuatan politik saat membangun konsepsi Indonesia dalam konteks politik domestik. Di luar itu, dan tak dapat dihindari, hadir sebuah konteks yang menuntut jawaban tentang bagaimana peran sebuah bangsa yang tengah menjadi dalam percaturan internasional. Sebagaimana diketahui, politik dunia yang saat itu terpolarisasi di antara blok-barat kapitalis di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Inggris dengan blok-timur di bawah naungan Uni Soviet dan Republik Rakyat China, telah mendorong Sukarno dan beberapa pemimpin negara baru hasil dekolonisasi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, mencari sebuah alternatif dengan membentuk kekuatan politik non-blok. Gagasan itu muncul dari Konferensi Asia-Afrika yang diselenggarakan di Indonesia pada 1955. Momentum internasional itu sekaligus memiliki dampak kuat pada pembentukan karakter bangsa yang baru lahir, dengan sebuah tawaran mengenai cita-cita kemerdekaan Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan konstitusi bahwa “penjajahan di muka bumi harus dihapuskan”.  Dalam kaitan ini, politik non-blok dan semangat Konferensi Asia Afrika itu bisa dilihat sebagai proses internasionalisasi dari pengalaman revolusi dan kemerdekaan Indonesia yang ditawarkan Sukarno dan mendapat dukungan sejumlah negarawan besar seperti Jawarhalal Nehru dan Chou En-lai.

Bagaimanapun juga, pertarungan politik internasional antara blok-barat dan blok-timur serta persaingan antarkekuatan politik domestik zaman itu menjadi antitesis utama dari proses nation-building saat itu. Peralihan kekuasaan pada akhir  1965 dan kekerasan massal yang menembus dan merebak di wilayah perdesaan Indonesia, khususnya Jawa, menjadi titik pemberhentian dari proses nationbuilding yang menempatkan mobilisasi massa dalam politik. Pada periode selanjutnya terjadi perubahan watak dan arah perkembangan konsepsi ke-Indonesia-an yang menjadi ciri dari pemerintahan Orde Baru selama tiga dekade, yaitu konsepsi mengenai Indonesia yang lebih menekankan aspek teritorial ketimbang bangsa.

Berbeda dengan pandangan Bob Elson, pokok penting yang harus ditekankan di sini, sekaligus sebagai bahan pembelajaran, rakyat senantiasa terlibat dalam  pelbagai instrumen, baik organisasi maupun wacana politik, yang lahir tidak lama setelah Indonesia meraih kemerdekaan. Tidak ada periode dalam sejarah Indonesia yang mampu menandingi segi kepolitikan periode sangat dinamis itu. Dalam periode itu kita bisa menyaksikan bagaimana rakyat di pelosok perdesaan dapat mengerti dan memahami aspirasi politik para pemimpin, terutama cita-cita Sukarno membentuk bangsa Indonesia yang berkepribadian (kuat) nasional, serta terlibat aktif penuh antusias. Sayangnya, kelangkaan ekonomi dan kemerosotan keuangan membuat eksperimen pendidikan politik rakyat dalam skala luas menjadi terhambat. Namun demikian, penanaman sebuah gagasan tentang Indonesia yang bersifat nasional tumbuh pesat dalam periode tersebut, bahkan jauh lebih maju ketimbang kondisi  sekarang. Pendek kata, dalam politik Indonesia kontemporer, unsur nasional telah dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan jangka pendek bersifat kedaerahan.

Terlepas dari perbedaan pandangan terhadap pandangan Elson, tetapi ada tema dasar yang menjadi ‘isi’ Indonesia, yaitu keadilan, demokrasi dan toleransi, setidaknya merupakan sebuah persoalan penting yang berhasil dengan baik dipaparkan oleh Elson dalam setiap periode waktu pembahasannya. Ketegangan dan krisis yang muncul berkait dengan pemaknaan terhadap gagasan tentang Indonesia, secara tidak langsung senantiasa bersinggungan dengan persoalan-persoalan keadilan, demokrasi dan toleransi yang diusung oleh para produser pemikiran tersebut. Dan, penolakan terhadap Indonesia yang satu, adalah penolakan atas kenyataan ‘hilangnya’ semangat keadilan, demokrasi dan toleransi yang sebelumnya menjadi dasar berkembangnya pemikiran tentang Indonesia dari para pendiri republik ini.

Penutup

 The Idea of Indonesia adalah sebuah karya yang sekaligus menggenapi rangkaian pemikiran Elson tentang sejarah Indonesia. Mereka yang belajar sejarah Indonesia pasti sangat mengenal Elson dari karyanya tentang pengaruh kolonialisme Belanda terhadap kaum tani Jawa ketika kebijakan Tanam Paksa diberlakukan pada pertengahan abad 19.[3] Karya-karya Elson sebelumnya memang lebih kental dengan nuansa sejarah sosial-ekonomi. Pergeseran terjadi menjelang akhir tahun 1990-an dan memasuki tahun 2000-an. Persoalan-persoalan politik kontemporer di Indonesia mulai menjadi perhatian Elson dalam beragam karyanya, seperti lahir dalam karya biografi politik Suharto (Suharto: a political biography, 2001). Dalam kaitan ini kita memperoleh  gambaran menarik mengenai perjalanan pemikiran seorang peneliti tentang Indonesia akan subjek yang menjadi fokus perhatiannya. Indonesia – sebagaimana topik utama buku yang ditulisnya – terus-menerus berubah, dan demikian pula pemikiran Elson mengenai Indonesia. Sebagaimana dikatakan sendiri pada bagian awal bukunya, minatnya adalah menelusuri bagaimana “gagasan tentang Indonesia” berkembang, “[w]hat impressed me most of all was not the fear of impeding disintegration but the vibrancy of politics and political thinking… on Indonesian identity and its failings and possibilities…” (hal. xxiii).

Elson berhasil membangun argumentasi-argumentasi penting melalui sejumlah data yang begitu kaya tentang bagaimana orang berpikir dan melakukan sesuatu berkait dengan “kata” Indonesia sejak akhir abad ke-19 sampai dengan periode reformasi sekarang. Sayangnya, kata-kata itu lebih sering tampil seperti angka-angka statistik atau tabel yang mendukung argumentasi ketimbang sebuah upaya mengajak para pembaca untuk memahami suasana zaman dari periode berbeda, ketika persoalan Indonesia muncul dalam perdebatan dan pembicaraan politik para tokoh yang dikutip Elson dalam bukunya. Tak dapat dimungkiri, menulis “sejarah mentalitas” atau “arkeologi pemikiran” merupakan tugas pelik seorang sejarawan untuk menjadikannya sebagai story yang “mampu” merangsang imajinasi sidang pembaca. Buku ini bukan sebuah pengecualian atas kesulitan tersebut.Dalam kaitan itu, terlepas dari ketidaksepahaman terhadap beberapa pokok pemikiran Elson, karyanya ini patut mendapat dua acungan jempol yang menunjukkan bagaimana seorang sarjana menunjukkan kecermatan dan kedalaman pada pokok masalah yang digelutinya. Karya ini juga memberi sumbangan penting sekaligus kerangka acuan bagi para pemikir, praktisi, dan aktivis politik, yang dewasa ini tengah mencoba menciptakan “hal-hal baru” dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Persoalannya dalam periode sekarang ini, karya Elson bagaimanapun terlalu berfokus pada produksi gagasan tentang Indonesia yang berpusat di Jawa. Kita mendapatkan gambaran yang masih sedikit tentang bagaimana pemikiran tentang Indonesia itu lahir dari kalangan elite terdidik di tempat-tempat lain di luar Jawa seperti Aceh misalnya. Ini nampaknya masih merupakan sebuah tantangan bagi para sejarawan dalam membahas persoalan mengenai Indonesia. Sampai sekarang, pembahasan tentang Indonesia seringkali berpijak terhadap segala sesuatu yang berada di Jawa. Kita bisa menyebutkan karya lainnya—dengan tema yang hampir sama—dari Adrian Vickers yang mencoba menyajikan sebuah sejarah Indonesia dengan berpijak pada pandangan seorang nasionalis di Blora, Jawa Tengah. Persoalan ini yang menurut pandangan penulis layak menjadi tantangan bagi para peneliti dan sejarawan untuk lebih banyak menggali dan mengembangkan studi mengenai masyarakat Indonesia dengan titik tolak di luar Jawa. Kepustakaan studi tentang Indonesia selama ini bagaimanapun tetap menempatkan pandangan-pandangan di luar Jawa—dalam perbincangan tentang Indonesia—dalam sebutan ‘sejarah lokal’.


[1] Onghokham. Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: Gramedia, 1989), hal. 88-89.

[2] Max Lane, Bangsa yang Belum Selesai: Indonesia, sebelum dan sesudah Suharto (Jakarta: Reform Institute, 2007), hal. 19.

[3] Misalnya, Javanese Peasants and the Colonial Sugar Industry: Impact and Change inan East Java Residency, 1830-1940 (Singapore: Oxford University Press, 1984) dan Village Java under the Cultivation System, 1830-1870 (Sydney: Allen and Unwin, 1994).

4 thoughts on “Membicarakan Indonesia”

Komentar