Blues Merbabu: 1965 dalam Kenangan Masa Kini

Paperback, Cetakan pertama, 192 pages Published February 23rd 2011 by KPG (Sumber: Goodreads)

Ada hal menarik dan mengesankan ketika mempelajari bagaimana ‘orang Indonesia’
berurusan dengan masa lalunya. Masyarakat ini sering cepat lupa dan alpa tentang sejarah mereka sendiri. Pejabat pemerintah kota lebih senang merobohkan bangunan kuno—di mata mereka mungkin barang rongsokan yang tidak perlu—untuk kemudian membangun pusat perbelanjaan megah sebagai roda pemutar ekonomi masyarakat di samping menambah tebal saku pribadi.
Sudah tentu ini adalah komentar jengkel seseorang yang pernah belajar sejarah dalam memandang sifat ‘amnesia massal’ masyarakat sekitarnya terhadap masa lalu. Meskipun begitu, ada kekecualian yang terjadi berdasarkan pengalaman saya ketika berkunjung ke desa di Jawa Timur hampir satu dekade lalu.
Masyarakat di desa tersebut tidak seluruhnya lupa dan alpa terhadap masa lalu mereka. Peristiwa kekerasan pada 1965 meninggalkan jejaknya dalam beberapa fragmen kehidupan kontemporer mereka.
Ladang-ladang, kebun-kebun, tempat-tempat terpencil di pinggir sungai besar, dan termasuk sawah para petani Jawa memiliki cerita masing-masing tentang apa yang pernah terjadi hampir empat dekade silam. Di Kediri, tempat saya tinggal agak lama, ada tiga desa bernama Trisula A, B dan C yang merupakan nama operasi militer Angkatan Darat untuk menghabisi sisa-sisa perlawanan komunis yang kehancurannya berlangsung begitu cepat serta mengejutkan banyak pihak, terutama musuh-musuh politik mereka. Ada sebuah masa lalu yang terekam dalam ingatan sehari-hari penduduk desa, sebuah ‘kenangan yang dibatukan’ dalam nama wilayah administrasi mereka.


Ingatan atau kenangan terhadap masa lalu itu juga yang muncul dalam sebuah novel semiotobiografi yang menarik tentang peristiwa 1965, berjudul Blues Merbabu. Gitanyali, nama pena Bre Redana dalam novel ini (yang juga merupakan nama pena Tri Sabdono, wartawan harian Kompas), menyampaikan sebuah ‘cara lain’ untuk memahami dan mengenang tragedi tersebut.
Ada banyak kejutan setelah kita selesai membaca buku ini.  Kejutan itu beralasan.
Pertama, tidak ada visualisasi kekejaman yang menjadi ‘ciri’ utama dalam tema-tema tulisan tentang 1965 dalam Blues Merbabu. Penulis sepertinya tidak berselera lagi menyampaikan bentuk kekejaman itu dalam untaian cerita, meski saya mendapatkan kesan bahwa sebagai seorang anak muda yang tumbuh besar di wilayah sekitar Merbabu, Salatiga, kekejaman tersebut mungkin telah banyak didengarnya dalam beragam versi.
Selain itu, tidak ada air mata yang mengalir dari tokoh utama—sedikit banyak mewakili kisah hidup penulis dalam dunia nyata—yang merangkai fiksi tentang seorang anak yang sejak kecil telah kehilangan ayahnya dan sosok ayah itu sebelum lenyap selamanya sempat berkata, ‘Ayah nanti tidak pulang… Ayah sedang dibutuhkan’ (hal. 43). Kalimat-kalimat terakhir sang ayah menandai perjumpaan terakhir ayah dan anak ini. Hanya ada satu tangisan yang meledak di novel ini ketika ‘orang-orang yang tak dikenal… seperti yang menjemput Ayah dulu… menjemput Ibu… Tangisan pecah di rumah kami’ (hal. 46). Tetapi sebelum dan sesudah momentum tersebut, air mata nyaris absen.
Di bagian awal novel ini, saya bahkan mendapati banyak kisah jenaka yang mewarnai kehidupan kanak-kanak yang kelak tumbuh sebagai lelaki dewasa dalam lanskap masyarakat Jawa. Ia mengingatkan saya pada tulisan indah Hildred Geertz tentang Keluarga Jawa dalam penelitian etnografisnya di perdesaan Jawa Timur. Gitanyali menyuguhkan sisi yang begitu hidup untuk analisis bersifat antropologis Geertz, yang sepertinya berlandaskan pengalaman pribadi dan dialami banyak kanak-kanak dan pria muda Jawa dalam hidup mereka.
Kisah-kisah itu berkait dengan imaji seksual dan pengalaman tokoh utama. Penulis dengan terang-terangan mengurai kegiatan sang tokoh mengintip para perempuan yang mandi telanjang. ‘Lekuk tubuhnya kukenal benar. Sampai ke ketebalan rambut itunya’ begitu penggalan rekaman dari aksi ‘spionase’ dengan sasaran kamar mandi tetangga. ‘Biasanya dia membasuh muka terlebih dahulu, dengan mata terpejam dan bibir dimonyong-monyongkan. Baru setelah itu mandi gebyar-gebyur, sampai rambut itunya lepek (“glek-glek-glek”) (hal. 21). Kenakalan seperti itu juga yang membuat sang tokoh harus disunat ketika ‘burung yang mengeras itu’ tersangkut kawat saat ia lari terbirit-birit begitu ‘aksi spionase’-nya terbongkar korbannya.

***

Di sisi lain, saya mendapatkan apa yang dikatakan Clifford Geertz tentang ‘karakter masyarakat’ yang membuat pengamat luar merasa ‘tidak nyaman’ untuk menyadari bahwa ‘sebuah trauma besar telah mengguncang subyek penelitian mereka’ meski bentuk trauma itu lebih merupakan ‘bayangan samar tentang bagaimana efeknya terhadap para subyek di dalam masyarakat yang menjadi kajian. ‘Mereka katakan [orang-orang Jawa-pen], seekor buaya menyelam dengan cepat ke dasar sungai, tetapi muncul ke permukaan dengan lambat.’ Jadi ada ‘pengalaman jiwa’ yang hilang dengan begitu cepat dalam kegamangan itu dan menjadikan ‘situasi serba tidak yakin seperti menunggu buaya yang muncul’ bagi pengamat luar dalam menulis soal politik dan politik itu sendiri di dalam masyarakat pasca tragedi 1965 (Geertz, 1975: 265).

Blues Merbabu mengisi kekosongan dan pandangan samar itu dalam nuansa yang personal. Sudah tentu dalam bahasa fiksi. Namun yang membuat Blues Merbabu unik adalah narasi yang menjadikan tragedi terbesar sejarah kontemporer Indonesia yang disampaikan dengan sensibilitas orang-orang masa kini yang hidup dalam cengkraman budaya serba massa. Ia mewakili sebuah pengalaman dan pembicaraan yang lahir dari seperti shopping-mall, caffee, diskusi surat-kabar dan lainnya.

Menariknya, ia tidak menggurui pembacanya tentang bagaimana tragedi 1965 itu dan tidak mewarnainya dengan rasa pilu korban atau kebalikannya, sosok hero yang perlu mendapat perhatian banyak orang. Lebih penting lagi ia mengingatkan bahwa sudah ada sejarah yang berubah.

Di lanskap kota yang seperti ‘teater’, Gitanyali membawa kita pada kesadaran sejarah baru dalam lingkup kehidupannya. ‘Masa berganti. Kini bukan lagi musim baris-berbaris. Tak ada lagi mas-mas dengan atribut partai,’ demikian ia memberi petunjuk tentang jaman yang berubah. ‘Yang musim adalah pemuda dengan celana ketat-disebut celana jengki—berwarna-warni. Atau kemudian cutbray.’(hal. 62)
Blues Merbabu mengingatkan bahwa masa lalu tidak selalu tampil dalam kacamata romantis dan terus mengikat subyek pada belenggu tak terhingga yang menyakitkan. Di sini, ada sebuah cara wajar dalam menyodorkan sejarah masa lalu itu. Seseorang bisa terus ‘memilih’ mencipta sejarah seperti apa yang ingin mereka lakukan, meski hasilnya memang berada di luar kemauan seseorang itu.

***

‘Manusia terlahir bebas, namun ia terbelenggu di mana-mana…’ demikian adagium populer mengiringi benak para revolusioner Prancis ketika mereka meruntuhkan dinasti Bourbon, mengeksekusi Raja Louis XVI yang menjadi wakil monarki absolut dan menggantinya dengan negara republik di tahun pertama revolusi, 1792. Tapi pengalaman Indonesia pasca 1965 malah menegaskan bahwa tidak ada manusia yang terlahir bebas. Seorang anak, bahkan bayi dalam kandungan sudah harus menanggung beban masa lalu orang tua, kakek, paman atau salah seorang anggota keluarga, yang secara nyata atau sekadar dituduh terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI), ‘termasuk anak turunnya, 200 turunan’, tulis Gitanyali dalam Blues Merbabu (hal. 142).

Blues Merbabu bercerita tentang pengalaman seorang anak manusia (dan juga anak PKI) saat menyusuri koridor kehidupan kanak-kanak, remaja dan dewasa dalam belenggu masa lalu yang mengikatnya di mana-mana. Pengalaman ini menggambarkan sebuah ‘masyarakat yang sakit jiwa’ setelah kehancuran terjadi.
Menghadapi pasien sakit jiwa itu, tokoh dalam cerita ini membangun kredo hidupnya. ‘Aku punya pengertian sendiri mengenai politik. Bagiku politik adalah pengingkaran terhadap kekuasaan. Kekuasaan dalam segala bentuk dan manifestasinya.’
Kredo itu dibangun berdasarkan sebuah pelajaran dari catatan sejarah yang bersifat personal. ‘Ingat nasib orangtuamu,’ tapi si tokoh ternyata melawan minimal dalam dirinya sendiri yang dalam novel ini disebut suloyo. ‘Kemapanan termasuk hal lain lagi yang aku ingkari. Aku selalu didorong untuk berubah, bahkan bertransformasi setiap saat. Situasi mapan menggelisahkanku ‘(hal. 140-1).

Sebagai ‘anak PKI’ kredo-kredo tersebut membuat tokoh fiksi ini survive dan sekaligus membangun bayangan dirinya. ‘Aku memperlakukan hidup seperti di suatu panggung drama, mengambil peran keluar masuk panggung tergantung situasi. Tak ada yang membuatku harus berkomitmen secara penuh. Tergantung penokohan. Aku suka tokoh-tokoh misterius yang bisa keluar-masuk kehidupan. Favoritku: Dracula.’ Selanjutnya ‘[t]ubuhku kurus. Tinggi. Seandainya jari-jariku lebih tirus dan tidak dialiri darah serta memakai jubah hitam aku pasti seperti Dracula. Aku suka memakai jaket. Rambut kupanjangkan. Hidupku ringan.’ (cetak miring penulis, 142-143).

Melalui kredo itu, sosok dalam fiksi mengambil jarak dengan pasien sakit jiwa yang ada di sekitarnya. Itu juga memungkinkannya menganalisis bagian-bagian tertentu tempat beberapa penyakit paling akut bersarang. Pemujaan terhadap kekayaan dan kekuasaan yang tidak sah, hadir dengan cara mencoleng dan merampas dari siapa saja yang bisa mereka taklukan adalah salah satu jenis penyakit yang paling parah. Kredo itu selain membantu meniti kehidupan dengan cara yang ‘ringan’ (dibanding kehidupan tokoh Ayah, Ibu dan beberapa anggota keluarga), sepertinya juga menjadi resep yang memberi terapi atas sakit jiwa di lingkungan sekitarnya.

Ada sakit jiwa lain yang patut dicatat. Rezim Orde Baru ‘membunuh citra diri mereka sendiri’, demikian James Siegel bercerita tentang pengalaman ‘jiwa’ sebuah bentuk kekuasaan otoriter yang menderita neurosis atas penyakit yang mereka ciptakan sendiri. ‘Bahkan ketika mengenang revolusi melawan Belanda, orang Indonesia nampaknya kesulitan membayangkan sebuah bentuk kekerasan nasional yang ditujukan bukan kepada orang Indonesia sendiri’ (Siegel, 1998: 2). Diorama Museum Nasional Indonesia bercerita banyak tentang peperangan melawan Belanda. Tetapi ketika Belanda dan Indonesia berhadapan, tidak ada darah dan kematian di situ. Aroma kematian dan banjir darah justru muncul dalam imaji konflik yang terjadi antara orang Indonesia sendiri.

Apabila disadari bahwa diri atau subyek—individual atau kolektif—senantiasa membangun rangkaian strategi yang mereka pahami untuk bertahan dan survive dalam lingkup kehidupan mereka, Blues Merbabu yang bersifat semiotobiografi mewakili rangkaian strategi itu.

Di luar tulisan-tulisan Bre Redana dalam ragam artikel tentang budaya massa (sebuah peralihan baru dalam kesadaran penulis setelah kembali dari Inggris), narasi Blues Merbabu dalam beberapa bagian menampilkan intervensi personal atau paling tidak interpretasi atas pengalaman diri berkait masa lalu dan kondisi kekinian Gitanyali.
Intervensi itu paling awal muncul dalam sebuah dialog antara penulis dan Nita, sosok wartawan cerdas yang mewawancarainya. ‘Aku bukan PKI, tidak tertarik Marxisme kecuali sebagai salah satu acuan post-modernisme, kurang menyukai gaya hidup proletar, kurang percaya pada sosialisme…’ demikian catatan awalnya. Kemudian dilanjutkan dengan dialog menarik:

“Ya, maksudnya bukan itu…” tukasnya. “Yang kami dengar orangtua Om PKI. Kami juga ingin menulis bagaimana kehidupan anak-anak PKI”.
“Tak ada bedanya dengan anak-anak negeri ini lainnya, yang juga banyak yang mengalami kesulitan hidup,” tukasku. “Lagi pula aku bukan orang yang dikenal, bukan tokoh, orang biasa. Sebagai penulis pun, aku lebih banyak minum daripada menulis.” (hal. 3)

Tidak dapat disangkal, ada banyak ciri dari kehidupan seseorang, dan karena sifatnya yang khas, menjadikan orang luar membangun label yang menjadikan cara bertindak dan kehidupan yang dialami seseorang berjalan masuk akal dalam pandangan mereka. Dengan kata lain, orang mencoba mengisolasi ciri ini dan itu sesuai minat dan selera, dan mungkin juga sembarang saja, akan tetapi paling tidak membantu kontradiksi atau keunikan dalam diri seseorang dipahami dari kacamata ‘orang luar’.
Dalam kaitan ini, kacamata itu adalah ‘anak-anak PKI’.

Gitanyali dengan cerdik meruntuhkan sebuah mitos yang hidup dalam koridor politik Indonesia pasca 1965 dalam dialog itu. Tidak ada yang berbeda dalam kehidupan ‘anak-anak PKI’. Ia tidak perlu dilihat sebagai sebuah produk yang memiliki kemasan khusus dibalik kaca etalase supermarket politik di Indonesia untuk menjadikannya saleable. Semua serba biasa.

Apa yang salah bila mereka hidup tidak jauh berbeda dengan anak-anak lainnya? Atau bahkan menambah dengan pernyataan konyol yang disengaja tentang penulis yang ‘lebih banyak minum daripada menulis.’

Dalam cara-cara biasa seperti anak-anak lain di Indonesia, Blues Merbabu menguraikan rangkaian strategi untuk tetap survive dalam koridor politik yang menjadikan sejarah dan masa lalu seseorang sebagai hukuman, bukan pelajaran.
Gitanyali mengajarkan bahwa mereka mungkin bisa saling mengenal—seperti sesama vampire—di antara mereka yang memiliki kisah hidup serupa. Sudah barang tentu akan masuk akal dengan riwayat PKI sebagai partai komunis terbesar di Asia dengan klaim pengikut dan simpatisan mencapai hampir seperlima penduduk Indonesia yang saat itu berjumlah sekitar 100 juta penduduk.

Perbandingannya dalam masa kini mungkin organisasi massa Nahdlatul Ulama (NU) dengan para pengikut dan mereka yang merasa menjadi bagian organisasi itu. Dalam kaitan ini kita bisa mengerti apa jadinya kehidupan sebagian anak-anak Indonesia masa depan bila sejarah yang sama berulang. Kita bisa melihat sosok yang hadir dari tetangga, keponakan, atau famili jauh yang tinggal di kota-kota berbeda dalam peristiwa yang terjadi di luar kuasa mereka.

***

Bagaimana pun bukan tidak ada dinding yang retak dalam karya ini. Bagi kita, keretakan itu sekaligus mengingatkan bahwa ia sebuah karya dalam bentuk novel, bukan kitab suci. ‘Keretakan’ itu memang tidak mudah diselesaikan dengan sekadar menambah pengetahuan yang hilang atau mengganti cermin kusam yang menghalangi pandangan seseorang terhadap kehidupan sekitarnya.

Di sini saya akan membatasinya terhadap sosok cah angon dalam membangkitkan imajinasi tentang ‘episode-episode’ penting dalam pembentukan sosok pria Jawa, seks dan seksualitasnya, segala nalar tentang kehidupan sekitarnya, terutama pada sosok perempuan, yang membentuk narasi novel.

Blues Merbabu menampilkan karakter-karakter tokoh perempuan yang menarik, Ibu yang kehilangan suami dan kemudian menyusul masuk penjara, Mbak Kadarini (dalam imaji menarik tentang bulan di kamar dan sekaligus pengalaman pertama ejakulasi seorang anak dalam pelukan perempuan dewasa) seorang aktivis perempuan dan kemudian hilang untuk kemudian ditemukan lagi pada masa dewasa, Mbak Tuti yang kemudian memberi permainan cinta yang menarik, termasuk perempuan keturungan Tionghoa yang muncul sejak masa kanak-kanak sampai dewasa.

Narasi tentang sosok-sosok itu dalam novel membangkitkan pertanyaan.
Sebagai orang yang belajar sejarah, saya memiliki kesan samar tentang lanskap sebuah kebudayaan yang cenderung misognistik terhadap sosok perempuan, dalam kaitan ini budaya Jawa. Bayang-bayang itu tak terhindarkan hadir—bisa jadi tanpa dikehendaki—dalam narasi tentang karakter para perempuan yang bersinggungan dengan pengalaman sang tokoh.

Pertama, saya mendapatkan sosok perempuan yang diwakili dalam imajinasi tubuh yang erotis pada satu sisi, dan di sisi lain kebutuhan erotik yang imajinatif seorang pria muda Jawa. Tetapi erotisme ini berjalan satu arah dari cah angon yang membayangkan segalanya dengan sedikit kemungkinan arah sebaliknya, termasuk juga kemungkinan bahwa perempuan bukanlah sekedar zona erotis.

Kedua, ada beberapa karakter yang menjadi ‘korban dari sejarah’, tetapi perempuan sudah barang tentu bukan sekedar korban tanpa kemampuan survival dengan lensa pandang bersifat iba kaum pria-nya. Mereka pun survive dengan beragam cara. Saya teringat sosok Ibu dan Mbak Kadar yang sesungguhnya menarik tapi tampil selintas saja.

Ringkasnya, saya mendapatkan kesan sebuah lakon seorang pria Jawa bercerita tentang dirinya sambil membawa pakem umum yang menempatkan sosok pria Jawa dalam heroisme dan peran sentral dalam keluarga, atau dalam kehidupan pribadi mereka. Dalam kenyataan, ekonomi keluarga dan survival anggota keluarga masyarakat Jawa, termasuk kisah suksesnya, lebih banyak menampilkan heroisme dan produktivitas kaum perempuan yang senantiasa terbenam dalam banyak narasi.
Saya justru mempunyai kesan bahwa pria (Jawa) lebih sulit survive tanpa bantuan dan pengorbanan para perempuan di sekitarnya. Dalam karya selanjutnya mungkin ini akan menjadi sebuah cerita menarik mengingat pengetahuan dan intuisi penulis novel yang kaya tentang seluk-beluk kehidupan masyarakat tempatnya tumbuh besar dan dewasa.

***

Dalam novel ini terdapat unsur seksualitas yang mengarahkan enerji seorang pria muda Jawa yang tumbuh berkembang dalam koridor politik yang menekannya di mana-mana. Saya mencoba memahami determinasi dari unsur seksualitas itu dengan melihatnya pada situasi jaman yang memang membentuknya demikian.

Tidak dapat dipungkiri bahwa satu perubahan penting yang dibawa rejim Orde Baru dalam sejarah kontemporer Indonesia adalah segala bentuk politik yang bersifat oposisi, apalagi politik itu membawa massa atau rakyat dalam pergulatannya. Kebijakan massa mengambang adalah bentuk yang paling terkenal ekspresi otoriter rejim tersebut. Dalam suasana massa mengambang itu menjadi masuk akal bila imajinasi dan hasrat seksualitas adalah jalan keluar yang paling mungkin—dan sulit dikontrol bahkan dengan moral Victorian rejim tersebut—dari benak populasinya.
Sepanjang rentang waktu sejarah era 70an dan 80an, sejarawan tentang budaya pop Indonesia saat itu telah dikejutkan sifat media massa populer, seperti majalah dan stensilan, dengan cerita erotis dan gambar-gambar yang mungkin ‘lebih berani’ dibanding sekarang. Kisah Ali Topan—sangat populer pada masanya—mengingatkan bagaimana erotisme dan hasrat seksualitas itu muncul.

Gitanyali adalah anak zaman periode tersebut. Imajinasi erotik dan hasrat seksualitasnya sepertinya menjadi katup pembuka yang personal ketika politik bersifat publik tertutup rapat di mana-mana.

Tetapi ini justru yang menjadikan Blues Merbabu menjadi unik dan ‘hidup’ dalam membaca era sejarah yang menjadi latar perkembangan watak dan hasrat sang tokoh dalam novel ini, di samping ilustrasi tentang kota yang menjadi panggung teater menarik dalam ulasannya.

Irama musik blues memang layak mengiringi pembacaan atas karya ini. Blue note dalam notasi blues membuat telinga kita mendengar kesedihan dalam petikan melodi. Tetapi ketukan irama blues membawa kesedihan itu untuk terus bergerak. Begitu juga kehidupan yang tampil dalam novel ini. Ada lengkingan kesedihan, tetapi kehidupan harus berjalan terus.

Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s