
Eric Foner adalah Professor De Witt Clinton di Universitas Columbia dan salah seorang sejarawan terkemuka Amerika Serikat. Salah satu karyanya, The Fiery Trial: Abraham Lincoln and American Slavery meraih penghargaan Bancroft Prize dan Pulitzer Prize 2010 dalam bidang sejarah di Amerika. Selain mengajar, Foner menjadi presiden tiga organisasi sejarawan Amerika, yaitu Organization of American Historians, American Historical Association dan Society of American Historians. Karir awalnya sebagai sejarawan dimulai dibawah bimbingan sejarawan terkemuka Amerika Serikat, Howrd Zinn.
Berikut adalah salah satu kutipan artikelnya tentang sejarah dan cara pandang sejarah di Amerika Serikat pasca 9/11 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia atas izin penulis.
Menafsir Ulang Sejarah Amerika pasca 9/11
Eric Foner
Tahun 1948. Perang Dunia Kedua baru saja berakhir. Tidak lama kemudian, seorang sejarawan era Perang Saudara di Amerika, Roy F. Nichols, menerbitkan esai pendeknya. Ia menulis tentang pengaruh perang itu terhadap generasi sejarawan Amerika dan orientasi bidang studi mereka.Setengah meramal, Nichols menyebut Perang Dunia sebagai “reorientasi (baru) dalam pemikiran sejarah” Amerika. “Setiap guncangan besar dalam dunia tindakan dan intelek,” tulis Nichols, “senantiasa memberi pengaruh terhadap metode dan pola pikir sejarawan. Begitu juga dengan perang yang baru saja usai.”
Meski kekuatan mengubahnya belum sebanding Perang Dunia II, peristiwa 11 September adalah “guncangan” besar dalam kehidupan kita masa kini. Peristiwa itu memaksa kita memikirkan kembali cara belajar dan mengajar sejarah Amerika. Ungkapan bijak menyatakan bahwa sejarah yang ditulis adalah sejarah masa kini. Sepertinya kita perlu melihat lagi catatan sejarah sepanjang empat puluh tahun terakhir untuk memahami persoalan-persoalan masa kini. Tidak dapat disangkal, masa kini adalah panggung kehidupan yang melahirkan perhatian-perhatian baru terhadap persoalan di masa lalu yang sebelumnya terabaikan. Di Amerika, “gelombang kedua” feminisme dunia melahirkan minat baru terhadap sejarah perempuan. Begitu pula dengan Revolusi Reagan yang melahirkan inspirasi tentang industri kecil berkait sejarah konservativisme negeri ini. Segala peristiwa pada masa kini, akan terus membentuk cakrawala baru dalam memandang sejarah Amerika. Selalu ada sosok dan karakter baru dalam panggung sejarah manusia.
Sayangnya, kepak burung hantu Minerva baru membentang menjelang fajar. Sejarawan selalu terlambat mengikuti momentum sampai tabir waktu menutup rangkaian peristiwa. Esai Nichol memberi petunjuk penting. Kita yang terjebak dalam pusaran peristiwa pada masa hidup sendiri selalu terlambat meramalkan bagaimana masa kini membentuk pandangan terhadap masa lalu. Nichols telah mengantisipasi rasa tidak pasti dan penuh kegamangan yang membentuk jiwa Amerika pasca Perang Dunia II, lengkap dengan pedang nuklir Demokles yang menjadi mimpi buruk umat manusia. Ia meyakini bahwa setelah perang berlalu, jejak sejarahnya akan menggiring sejarawan Amerika menanggalkan “optimisme” tradisional mereka ke dalam “kegamangan mencemaskan.” Namun yang terjadi sebaliknya. Pada saat Perang Dingin mendominasi lanskap pemikiran dan budaya Amerika, para sejarawannya malah mengusung “eksepsionalisme” Amerika. Ketimpangan dan konflik sosial yang lekat dengan sejarah Amerika dibuang dalam tong sampah.
Boleh jadi kita belum merasa yakin benar persoalan-persoalan baru yang muncul dari 11 September terhadap sejarawan. Cetak biru itu justru muncul dari luar lingkungan akademis lewat serangkaian pernyataan kalangan politisi konservatif. Belum sebulan setelah tragedi 11 September terjadi, Lynne Cheney, istri Wakil Presiden dan mantan ketua National Endowment for the Humanities (sebuah badan yang memberi beasiswa di bidang studi humaniora di Amerika) menyatakan hasrat mendukung studi ke berbagai penjuru dunia mencari penyebab “kegagalan (Amerika) memahami Islam” dengan akhir serangan terhadap World Trade Center dan Pentagon. American Council of Trustees and Alumni, lembaga Lynne Chenney sebelumnya, menyebarkan surat yang mengecam para professor di Amerika yang menolak mengajarkan di kampus-kampus dan sekolah bahwa “kebenaran” roh sejarah peradaban dunia “diwakili Barat dan sudah tentu Amerika”.
Dinesh D’Souza ikut meramaikan sorak-sorai ini. Bukunya What’s So Great About America (perhatikan bagaimana ia lupa mencantumkan tanda tanya dalam judulnya) menggiring kita di Amerika bahwa kebebasan dan toleransi beragama, adalah produk khas “Barat”. Bagi D’Souza, satu-satunya alasan mempelajari masyarakat dunia lain di muka bumi ini adalah menunjukkan superioritas Amerika. Iklan buku itu bahkan menyatakan bahwa setiap orang yang berbeda dengannya adalah “mereka yang mendorong lahirnya terorisme.” Dalam bukunya Why We Fight, William Bennet menyatakan bahwa siapa pun yang berbeda dengannya hanya “menuai badai dan membangkitkan kebingungan” serta “melemahkan negeri ini.”
11 September pada akhirnya menjadi pelajaran berharga bagi kita. Seharusnya pelajaran itu berlangsung dalam ruang terbuka, bukan tertutup dan sorak-sorai pengap sekarang ini. Sudah pasti kita semua bertanggungjawab terhadap analisis intelektual yang kita buat. Tanggungjawab ini berlaku bagi diri sendiri dan murid-murid kita. Di sini saya ingin menekankan sebuah keyakinan pribadi. Eksplanasi sejarah bukanlah pembenaran terhadap pembunuhan; Kritisisme tidak sama dengan pengkhianatan; Analisis tentang kejahatan bukan berarti kita menjadi bagian dari kejahatan itu.
(Silahkan unduh versi lengkapnya di sini).