Putaran Linguistik dan Penulisan Sejarah

51AHFCSKXDL
History and Theory: Contemporary Readings Paperback – December 23, 1998 by Brian Fay (Editor), Philip Pomper (Editor), Richard T. Vann (Editor) ISBN-13: 978-0631209539 ISBN-10: 0631209530 Edition: 1st

Sejak “perputaran linguistik” pada dekade 1980an dan 1990an yang berpengaruh terhadap pemikiran filsafat, budaya, sastra, termasuk juga ilmu sosial dan sejarah, beragam pertanyaan diajukan para pemikir kontemporer terhadap status dan klaim ilmiah cabang-cabang pengetahuan di beragam bidang. Terlebih sejak terbitnya buku Hayden White, Metahistory (1973), “putaran linguistik” menjadi wacana perdebatan di kalangan akademisi berkait dengan status dan klaim ilmiah pekerjaan yang mereka lakukan. Buku History and Theory (1998) adalah suatu tawaran bagi pembacanya untuk mengikuti bagaimana jejak pemikiran itu berkembang selama lebih dari dua dekade dalam bidang ilmu sejarah.

Meski tidak menampilkan gambaran lengkap dari pemikiran masing-masing orang yang telah menyumbangkan gagasannya dalam perdebatan itu, buku ini paling tidak memberikan bagaimana pemikiran-pemikiran kunci tentang filsafat, sejarah, budaya, sastra dan linguistik menjadi dorongan bagi para sejarawan untuk memperhatikan kembali orientasi studi mereka dan sejauh mana keabsahan klaim ilmiah pekerjaan mereka dapat dipertahankan. Sebagai bagian dari materi presentasi perkuliahan tentang Teori dan Sejarah, paper ini mencoba mengulas gagasan yang disampaikan dalam buku sesuai dengan tafsiran dan sudut pandang penulis paper ini.

Tulisan ini adalah sebuah tinjauan terhadap dua bab awal dalam buku ini yang mengungkapkan “sifat naratif” penulisan sejarah dari dua penulis berbeda, masing-masing adalah Hayden White, “The Historical Text as Literary Artefact” (1998) dan Noel Carrol, “Interpretation, History, and Narrative” (1998). Menjadikan dua artikel dari dua penulis dengan pemikiran yang saling bertolak belakang dalam bab awal buku ini tidak dapat disangkal memberi para pembaca sebuah pandangan berimbang tentang posisi masing-masing penulis dan masalah pokok yang menjadi pembahasan. Membaca bagian pertama dalam bab itu tidak bisa dilepaskan dengan pembacaan pada bagian kedua, demikian pula sebaliknya.

Teks Sejarah sebagai Teks Sastra

Hadyen White adalah seorang sejarawan yang lekat dengan tradisi kritik sastra dalam kajian-kajian kesejarahannya. Sebagai seorang sejarawan, karya-karya White lebih banyak mengulas pemikiran tentang sejarah, atau historiografi, dibanding peristiwa sejarah seperti biasa dilakukan para sejarawan lainnya. Bukunya yang terkenal, Metahistory: The Historical Imagination in Nineteenth Century Europe (1973) menjadi magnum opus Hayden yang menyatakan bagaimana kebenaran sejarah, fakta dan peristiwa, pada akhirnya adalah apa yang disebutnya sebagai “narasi sejarah” (historical narrative). Dibanding mewakili secara langsung “realitas masa lalu,” sebuah karya sejarah lebih mewakili beragam statement dalam bentuk metafor, analogi, polisemi dan perangkat bahasa lainnya yang menjadikan peristiwa masa lalu menjadi “hidup” bagi para pembaca di masa kini. Ringkasnya, karya sejarah lebih tunduk pada ketentuan hukum linguistik dibanding peristiwa masa lalu yang tampil dalam “konstruksi” seorang sejarawan.

Dalam ulasannya yang ditampilkan dalam buku ini, White mengawali dengan beberapa pertanyaan yang mengantarkannya pada pandangan filosofisnya tentang sejarah dan penulisan sejarah. “Apa yang dicari metahistori,” tulis White, “adalah pertanyaan-pertanyaan, Bagaimanakah struktur apa yang disebut dengan kesadaran sejarah? Apa status epistemologis penjelasan sejarah …? Apa bentuk yang paling mungkin dari representasi sejarah dan landasannya? Atas dasar otoritas apa sebuah uraian sejarah dapat menyatakan klaim memiliki sumbangan terhadap pengetahuan tentang realitas yang pasti dan ilmu pengetahuan khususnya?” (hal. 15).

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang kemudian membawa White untuk menyajikan gagasannya tentang “narasi kesejarahan.” Lebih lanjut White menyatakannya:

Yet, I would argue, histories gain part of their explanatory effect by their success in making stories out of mere chronicles; and stories in turn are made out of chronocles by an operation which I have elsewhere called “emplotment.” And by emplotment I mean simply the encodation of the facts contained in the chronicle as components of specific kinds of plot structures…(hal. 17).

 

Pada titik ini setiap sejarawan mungkin tidak memiliki banyak keberatan terhadap argumen yang disampaikan White. Cukup jelas bila kekuatan membentuk “plot” cerita dalam apa yang disebutnya sebagai emplotment, adalah salah satu ketrampilan yang umum dimiliki para sejarawan dalam menyatakan gagasan dan hasil kajiannya. Banyak sejarawan juga tidak terlalu keberatan bila penulisan sejarah yang dilakukannya memiliki apa yang disebutnya sebuah “operasi literer.” Seperti dikatakan White:

Unless you have some ide of the generic attributes of tragic, comic, romantic, or ironic situations, you will be unable to recognize them as such when you come upon them in a literary text. But historical situations do not have built into them intirinsic meanings in the way the literary text do. … They may all be inherently ironic, but they not need be emplotted that way. All the historian needs to do to transform a tragic into comic situation is to shift his point of view or change the scope of his perceptions…How a given historical situation is to be configured depends on the historian’s subtlety in matchi up a specific plot structure with the set of historical events that he wish to endow with a meaning of a particular kind. This is essentially a literary, that is to say fiction-making, operation. (hal. 19)

 

Dalam kaitan ini pemisahan lama antara sejarah dan prosa model Aristotelian tidak lagi berlaku bagi White. Puisi maupun sejarah kedua-duanya merupakan sebuah operasi literer, dan tunduk pada relasi linguistik yang mengatur makna.   Dunia nyata pun pada akhirnya tidak lain merupakan sebuah cara manusia untuk memberi makna dengan “imposing upon it formal coherency that we customariliy associate with the products of writers of fiction in no way detracts from the status as knowledge which we ascribe to historiography.” (hal. 31). Pada titik ini kemudian keberatan serius muncul terhadap pandangan-pandangan White tentang sifat naratif dari penulisan sejarah.

Keberatan-Keberatan

Secara ringkas, argumen-argumen White menekankan sebuah posisi konstruktivisme dalam penulisan sejarah yang hasil beragamnya ditentukan oleh posisi sejarawan dan pandangan ideologisnya pada masa kini. Bagaimanapun, konstruktivisme yang pada akhirnya menihilkan realitas dunia di luar subyek, termasuk para sejarawan yang menggali pengetahuan tentang masa lalu, menjadi persoalan terbesar dalam epistemologinya. Posisi seperti ini disampaikan dengan cukup mendalam oleh Neol Carrol di tulisan berikutnya pada bab yang sama. Dalam uraiannya, Carrol menyajikan kepada kita sebuah penyeimbang terhadap pandangan konstruktivisme atau narativisme yang disampaikan White dalam bab sebelumnya.

Dalam ulasannya, Carrol memetakan bagaimana akar historical narrativism yang disampaikan White yang membawa penulis itu pada kesimpulan bahwa “historical narrative, involving selection and abduction, is not a copy of the past, and therefore, is fictional.” (hal. 43). Bagi Carrol, persoalan serius yang membawa argumen White pada kekeliruan adalah posisinya yang tidak bisa membedakan antara “interpretasi sejarah” dengan “narasi sejarah”. Carrol menegaskan bahwa tetap ada dunia di luar sana, yaitu masa lalu, yang tetap terbuka tanpa makna berbeda. Yang membuat fakta-fakta dari dunia masa lalu itu berbeda adalah persoalan interpretasi sejarah yang dibuat masing-masing sejarawan.

Adalah tugas setiap sejarawan untuk menggali sedalam mungkin dunia masa lalu melalui “jejak-jejaknya” di masa kini yang tertuang dalam dokumen, arsip dan catatan masa lalu berkait sebuah peristiwa, meski tidak dapat dihindarkan bila masing-masing-masing catatan itu mengandung pula proses seleksi, penyingkiran terhadap beragam persoalan yang ada dalam suatu peristiwa sejarah. Rekaman sejarah dalam arsip sudah tentu memiliki biasnya sendiri. Ia ditulis oleh seseorang di masa lalu dengan preferensi dan pandangan subyektifnya terhadap peristiwa yang terjadi pada masa kontemprorernya. Dalam kaitan ini, tugas sejarawan dalam “obyektivitas ilmiahnya” adalah mengurai bias-bias itu dalam tinjuan pandangan kritis untuk memilah bagaimana seleksi dan bias-bias tertentu masuk dalam rekaman sejarah (arsip, dokumen dan lainnya).

Dalam kaitan ini pandangan Carrol cukup jelas bahwa penggunaan bahasa oleh sejarawan, termasuk dalam memnggunakan metafora dan analogi yang memperkuat argumen seorang sejarawan, adalah sebuah interpretasi terhadap sejarah. Namun, interpretasi itu tidak serta merta menihilkan realitas di luar sana yang memiliki independensi dari tafsiran dan subyektivisme manusia. Ia tetap merupakan sebuah peristiwa yang layak untuk terus dikaji ulang melalui pencarian para sejarawan dengan integritas pribadi atas obyetivisme ilmiah dan sekaligus kemahirannya memanfaatkan bahasa dalam menyampaikan pandangan-pandangan kesejarahannya.

Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s