Ada sesuatu yang cukup mengesankan, tetapi sesungguhnya aneh tentang pergerakan nasionalisme Indonesia. Kerumitan pemikirannya berkembang seiring merosotnya radikalisme di kalangan rakyat. Mungkin saja ini resiko ketika anak sekolahan memegang kendali pergerakan politik, tetapi mengalami kesulitan kesulitan berkomunikasi dengan rakyat pendukungnya.
Buruh di kota lebih memilih tunduk terhadap eksploitasi kapitalisme kolonial dibanding mengikuti seruan pemimpin yang dalam pengalaman mereka lebih banyak membawa kesulitan dibanding janji-janji yang diberikan. Kaum taninya tetap bermimpi tentang kedatangan Ratu Adil karena yang mereka inginkan adalah tanah, bukan imaji mooi indie tentang desa yang tentram dan aman, atau segala kebajikan orang desa. Nelayan pun berlayar dengan kecemasan berapa banyak tangkapan untuk membayar hutang pada juragan kapal dan tengkulak.
Pada akhirnya kita mendengar lagu lama dalam kaset yang baru dalam politik kontemporer Indonesia.
(Dari kaki gunung Salak – Ciomas yang bukan Ciapas)