“Selfie” se-Abad Lalu

Seorang perempuan melakukan selfie dengan memotret diri di hadapan cermin pada 1900. Sumber: NYpost.com

Kebiasaan selfie yang populer pada awal abad ke-21–yang mewabah mulai dari kalangan remaja sampai presiden negara adidaya–pada dasarnya bukan  kebiasaan baru. Meski teknologi kamera belum secanggih sekarang untuk mengambil foto diri, tapi beberapa upaya mendekati selfie seperti kita kenal sudah pernah dilakukan. Namun, tulisan ini bukan membahas sejenis selfie yang biasa kita praktekan sekarang. Apa yang ingin saya bahas adalah hasrat tampil berpose di depan kamera, bahkan meski peristiwa penting yang berkait terhitung ekstrim dan melibatkan ‘rahasia’ negara yang ditutup rapat karena kebusukannya.

Fotografi di Hindia Belanda dan Penampakan Diri

Sejak teknologi fotografi ditemukan, kebiasaan berpose di depan kamera untuk mengabadikan momen tertentu secara mandiri telah berkembang sejak abad lalu. Namun, keterbatasan teknologi fotografi membatasi hasrat tersebut sampai terjadinya revolusi dunia digital yang memungkinkan selfie atau grouffie  yang sekarang kita kenal. Bagaimanapun, keterbatasan bukan sebuah halangan bagi orang mengabadikan sesuatu yang mereka anggap penting dalam hidup mereka. Orang memanfaatkan segala sesuatu yang ada dalam zaman hidup mereka.

Fotografi  mulai masuk ke Hindia Belanda pada 1841 ketika seorang pegawai kesehatan Belanda, Juriaan Munich, mendapat tugas untuk mengabadikan keragaman flora dan alam sekitar di Hindia Belanda. Ini memang gambaran umum  bahwa juru foto pada masa awal di Hindia Belanda merupakan profesi yang umumnya  berkait dengan tugas sebagai pegawai administratif kolonial, misionaris dan pegawai dinas militer.  Melalui tangan dan mata mereka kita mendapatkan beragam informasi mengenai keadaan pada pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20 (yang mulai beragam dengan kehadiran fotografer profesional dengan studio mereka masing-masing). Dalam era seperti ini kebiasaan “selfie” pada masa kolonial mendapatkan tempatnya.

Gambar-gambar di bawah menjadi ilustrasi menarik tentang hasrat itu. Foto pertama menampilkan adegan sepasang pengantin baru yang berpose dalam liburan bulan madu mereka di Kebun Raya Bogor pada 1901.

S. Grigorieff dan Isabella Grigorieff dalam liburan bulan madu mereka di Kebun Raya Bogor. Sumber: 37103 (foto), Nederlands-Indië in foto’s, 1860-1940, Koninklijk Instituut voor taal-, land- en volkenkunde (KITLV)

Cukup menarik, bahwa jembatan gantung yang menghubungkan dua tempat yang terbelah aliran sungai selalu menjadi pilihan favorit bagi para pengunjung saat itu, seperti yang ditunjukkan dalam dua gambar berikut yang diambil dalam tahun berbeda.

Sumber Foto: F.66/088 (foto in album), Pioniersfotografie uit Nederlands-Indië, Prentenkabinet Leiden. Sosok foto dan fotografer anonim.
Tiga gadis remaja yang berpose di tempat yang sama di Kebun Raya Bogor. Foto diambil pada 28 Agustus 1938. Sumber: F.71/079 (foto in album), Pioniersfotografie uit Nederlands-Indië, Prentenkabinet Leiden

Tidak dapat disangkal, ada banyak perbedaan tentang bagaimana orang-orang pada masa lalu menampilkan diri mereka. Dari dua foto di atas, kita mendapat gambar dengan gesture tubuh yang berdiri tegak dan kaku dengan wajah langsung menghadap kamera. Mungkin sensibilitas orang-orang pada masa itu membatasi ekspresi tubuh ketika mengabadikan penampilkan mereka melalui foto yang dibuat juru foto profesional saat itu.

Titik Ekstrim

Dalam beberapa kasus, kebiasaan pose diri/kelompok dengan kamera  menampilkan banyak gambaran ekstrim tentang apa yang sanggup dilakukan manusia dalam serangkaian peristiwa. Foto-Foto berikut menunjukkan hasrat tak terbendung di antara para serdadu Marsose yang berpose di antara para korban mereka. Di tengah-tengah kelompok itu, berdiri komandan mereka Van Dalen yang kemudian menimbulkan persoalan pribadi bagi karirnya dengan perannya dalam pembantaian itu.

Foto bersama serdadu Marsose (Marechaussee) dengan komandan mereka Van Dalen di antara korban-korban penduduk pribumi di Kampong Koeto Reh, sebelum mereka menguasai wilayah Gayo dan Alas di Nangroe Aceh Darussalam. Sumber: Troppen Museum.

Sepertinya memang ada semacam bayangan estetis bawah sadar bagi para pelaku kekerasan untukmengabadikan  perbuatan  mereka. Meski pemerintah masing-masing seringkali membantah tuduhan yang memalukan tentang perbuatan  aparat mereka, tetapi sejarawan tentang kekerasan mengetahui dengan baik bahwa hasrat mengabadikan diri dalam momen tertentu selalu mengalahkan tembok rahasia negara. Berkat kebiasaan itu, kita di abad ke-21 ini dapat menyaksikan dan mempelajari bagaimana riwayat kekerasan itu terjadi dalam panggung sejarah manusia.

Seorang tentara Jerman yang menikmati pose bersama mereka ketika mempermainkan seorang tua Yahudi Polandia. Sumber: http://isurvived.org/TOC-I.html
“Yahudi Terakhir di Vinnitsa”. Foto ini diabadikan anggota pasukan Einsatzgruppen D, saat kesatuannya melakukan pembantaian terhadap 28,000 orang Yahudi di Vinnitsa, Ukraina, pada 1941.

 

Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s