
Kebiasaan selfie yang populer pada awal abad ke-21–yang mewabah mulai dari kalangan remaja sampai presiden negara adidaya–pada dasarnya bukan kebiasaan baru. Meski teknologi kamera belum secanggih sekarang untuk mengambil foto diri, tapi beberapa upaya mendekati selfie seperti kita kenal sudah pernah dilakukan. Namun, tulisan ini bukan membahas sejenis selfie yang biasa kita praktekan sekarang. Apa yang ingin saya bahas adalah hasrat tampil berpose di depan kamera, bahkan meski peristiwa penting yang berkait terhitung ekstrim dan melibatkan ‘rahasia’ negara yang ditutup rapat karena kebusukannya.
Fotografi di Hindia Belanda dan Penampakan Diri
Sejak teknologi fotografi ditemukan, kebiasaan berpose di depan kamera untuk mengabadikan momen tertentu secara mandiri telah berkembang sejak abad lalu. Namun, keterbatasan teknologi fotografi membatasi hasrat tersebut sampai terjadinya revolusi dunia digital yang memungkinkan selfie atau grouffie yang sekarang kita kenal. Bagaimanapun, keterbatasan bukan sebuah halangan bagi orang mengabadikan sesuatu yang mereka anggap penting dalam hidup mereka. Orang memanfaatkan segala sesuatu yang ada dalam zaman hidup mereka.
Fotografi mulai masuk ke Hindia Belanda pada 1841 ketika seorang pegawai kesehatan Belanda, Juriaan Munich, mendapat tugas untuk mengabadikan keragaman flora dan alam sekitar di Hindia Belanda. Ini memang gambaran umum bahwa juru foto pada masa awal di Hindia Belanda merupakan profesi yang umumnya berkait dengan tugas sebagai pegawai administratif kolonial, misionaris dan pegawai dinas militer. Melalui tangan dan mata mereka kita mendapatkan beragam informasi mengenai keadaan pada pertengahan abad ke-19 sampai awal abad ke-20 (yang mulai beragam dengan kehadiran fotografer profesional dengan studio mereka masing-masing). Dalam era seperti ini kebiasaan “selfie” pada masa kolonial mendapatkan tempatnya.
Gambar-gambar di bawah menjadi ilustrasi menarik tentang hasrat itu. Foto pertama menampilkan adegan sepasang pengantin baru yang berpose dalam liburan bulan madu mereka di Kebun Raya Bogor pada 1901.

Cukup menarik, bahwa jembatan gantung yang menghubungkan dua tempat yang terbelah aliran sungai selalu menjadi pilihan favorit bagi para pengunjung saat itu, seperti yang ditunjukkan dalam dua gambar berikut yang diambil dalam tahun berbeda.

Tidak dapat disangkal, ada banyak perbedaan tentang bagaimana orang-orang pada masa lalu menampilkan diri mereka. Dari dua foto di atas, kita mendapat gambar dengan gesture tubuh yang berdiri tegak dan kaku dengan wajah langsung menghadap kamera. Mungkin sensibilitas orang-orang pada masa itu membatasi ekspresi tubuh ketika mengabadikan penampilkan mereka melalui foto yang dibuat juru foto profesional saat itu.
Titik Ekstrim
Dalam beberapa kasus, kebiasaan pose diri/kelompok dengan kamera menampilkan banyak gambaran ekstrim tentang apa yang sanggup dilakukan manusia dalam serangkaian peristiwa. Foto-Foto berikut menunjukkan hasrat tak terbendung di antara para serdadu Marsose yang berpose di antara para korban mereka. Di tengah-tengah kelompok itu, berdiri komandan mereka Van Dalen yang kemudian menimbulkan persoalan pribadi bagi karirnya dengan perannya dalam pembantaian itu.

Sepertinya memang ada semacam bayangan estetis bawah sadar bagi para pelaku kekerasan untukmengabadikan perbuatan mereka. Meski pemerintah masing-masing seringkali membantah tuduhan yang memalukan tentang perbuatan aparat mereka, tetapi sejarawan tentang kekerasan mengetahui dengan baik bahwa hasrat mengabadikan diri dalam momen tertentu selalu mengalahkan tembok rahasia negara. Berkat kebiasaan itu, kita di abad ke-21 ini dapat menyaksikan dan mempelajari bagaimana riwayat kekerasan itu terjadi dalam panggung sejarah manusia.
