
Bayangkan bila suatu saat Anda berada di tempat dan waktu yang salah. Pertanyaannya adalah dengan cara apa Anda merekam dan mengingat pengalaman yang seringkali bersifat traumatis bagi diri pribadi?
Menulis buku harian barangkali adalah cara yang paling populer. Anda mungkin bisa membandingkan dengan pengalaman gadis belia Anne Frank yang menulis pengalamannya, ketika tentara Jerman menduduki Belanda sepanjang Perang Dunia II. Catatan harian Anne Frank sekarang ini telah menjadi satu kisah yang mendunia.
Begitu juga dengan pengalaman seorang perempuan lulusan sekolah seni Belanda, Frida Holleman (1908-1999). Pada 1939, ia berkunjung ke Hindia-Belanda. Ini adalah perjalanan pribadi bertemukeluarga. Di Hindia Belanda, ia bertemu sepasang suami-istri pelukis, Wim dan Maria Hofker, yang sebelumnya pernah tinggal di Bali. Frida belajar melukis dari pasangan itu. Namun, tidak lama kemudian, Jepang menduduki Hindia Belanda pada Maret 1942. Orang-orang Belanda dan Eropa di Hindia Belanda menjadi tahanan perang Jepang, termasuk juga Frida.
Sepanjang periode perang itu, ia menjadi penghuni kamp penjara perempuan di Kedung Badak, Bogor. Ia dibebaskan segera setelah kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik dan kedatangan tentara Sekutu. Frida pulang kembali ke Belanda sampai akhir hayatnya pada 1999. Ia membawa serta kumpulan sketsa lukisan cat air dan pensil di atas kertas yang dibuatnya sepanjang menjadi tawanan perang Jepang, yang kini menjadi koleksi Museun dan NIOD Instituut voor Oorlogs, Holocaust en Genocidestudies di Belanda.
Sayang, kita hanya mendapatkan sedikit informasi tentang sosok pribadi Frida. Namun, sketsa yang dibuatnya tetap merupakan sumber berharga yang memberi kesan menarik tentang soal-soal apa saja dalam kehidupan kamp yang menjadi perhatian mata pelukis. Sketsa ini juga menjadi sumber informasi menarik bagi sejarawan modern Indonesia tentang periode Perang Dunia II.






(Sumber gambar: http://www.geheugenvannederland.nl)