Saya telah menyinggung soal ‘pengalaman bersama’ sebagai pijakan bagi Sukarno merumuskan konsepsi nasionalisme Indonesia di tulisan terdahulu.
Sampai akhir kekuasaan kolonial Belanda, konsep pengalaman bersama itu tetap merupakan ide abstrak di kalangan kaum nasionalis Indonesia. Realisasi kongkritnya baru terjadi saat para pendiri negara republik menyepakati wujud teritorial Indonesia yang mencakup wilayah-wilayah ‘bekas jajahan Belanda’ di kepulauan Nusantara.
Bagaimanapun ide itu bukan tanpa masalah. Pengalaman siapakah? Begitu pertanyaan besar yang terus muncul sepanjang riwayat Indonesia sebagai negara-bangsa.
***
Riwayat kolonialisme Belanda di kepulauan nusantara menegaskan tidak semua wilayah di Indonesia memiliki pengalaman sama dalam berhadapan dengan kekuasaan kolonial. Sampai awal abad ke-20, kontrol penuh penguasa kolonial yang intenstif–termasuk eksploitasi kapitalisme kolonial–hanya terjadi di beberapa tempat seperti Jawa, Sumatera, sebagian kecil Borneo (Kalimantan) dan Sulawesi.

Di luar penundukkan langsung seperti Bali dan Lombok pada 1906 dan 1904, penguasa lokal lainnya di berbagai tempat masih merasakan diri sebagai sebuah kekuasaan berdaulat dengan hubungan bersifat ‘diplomatis’ dengan pemerintah kolonial Belanda. Sebagian memandang kehadiran penguasa kolonial sebagai ‘pembebas’ dari penaklukan penguasa pribumi lain di wilayah mereka.
Belanda sendiri baru mulai memperhatikan wilayah-wilayah di bawah kekuasaannya setelah ancaman geopolitik muncul ketika Prusia (Jerman saat itu) melancarkan ekspansi kolonial mereka ke Pasifik memasuki abad ke-20. Kehadiran militer mereka di Papua Nugini menimbulkan kekhawatiran bagi Belanda yang sekedar negeri kecil di benua Eropa di banding Jerman.
Dengan segala keterbatasan sumber daya ekonomi dan militer mereka, praktek paling mudah penguasa kolonial Belanda saat itu dilakukan dengan cara menempatkan birokrasi kolonial (dengan sedikit petugas dan peran minimal di banding penguasa lokal setempat) sebagai klaim kekuasaan kolonial, terutama ditujukan pada kekuatan Eropa lainnya.
Meminjam istilah seorang pengamat Inggris saat itu, J.S. Furnivall, Belanda menerapkan tidak lebih sebuah agenda yang mewakili riwayat ‘orang-orangan’ (levende wapenborden) dalam menjaga kedaulatan teritorialnya. Ibarat keperluan menjaga padi yang menguning dari serangan hama burung, orang-orangan hanya bergerak bila diperlukan. Hemat tenaga dan hemat biaya.
***
Riwayat orang-orangan tidak berhenti dengan terbentuknya pemerintahan republik.
Ia menjadi hantu dalam benak pemimpin negeri ini sampai sekarang. Sukarno mengobarkan agenda nation-building. Suharto membangun kodim dan kekuatan teritorial angkatan darat di seluruh wilayah Indonesia.
Sayangnya, pendekatan militeristik dalam membangun ‘pengalaman bersama’ bahkan menyebabkan sebagian orang menjadi jera dan segera ingin melupakan pengalaman bersama yang mereka tidak pernah alami bersama.
Agenda kebijakan pemerintahan sekarang mempercepat pembangunan wilayah perbatasan menjadi bukti berlanjutnya riwayat orang-orangan dalam sistem administrasi pemerintahan Republik Indonesia.
Semua langkah masih belum menjadi jawaban memuaskan tentang “pengalaman siapa” dalam proses menjadi Indonesia.
Pertanyaannya adalah apakah kita masih merasa perlu membangun ‘pengalaman bersama’ itu? Atau kita sudah bosan dengannya?
Tabik