Ada banyak hal yang membuat karya John Ingleson, yang diterbitkan Marjin Kiri ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Buruh, Serikat dan Politik (2015), layak untuk diperhatikan.
Pertama, ia bukan saja menjadi karya mutakhir dalam kepustakaan tentang sejarah dan politik Indonesia pada awal abad ke-20, tetapi juga menyampaikan isu penting bagaimana keterkaitan dunia politik dan aktivisme pergerakan buruh sepanjang dekade akhir 1920an dan 1930an di Indonesia.
Sesungguhnya ini isu yang tidak lekang dimakan zaman. Dalam pergulatan politik di Indonesia belum lama ini, persoalan ini kembali tampil ke permukaan. Sudah pasti ada banyak pergesekan pemikiran di dalamnya.
Kedua, ia juga menjadi bahan perbandingan menarik tentang ‘tradisi’ yang pernah ada dalam sejarah gerakan buruh terorganisir. Kehadiran buku ini menjadi kesempatan untuk melihat sejauh mana ‘tradisi’ dalam gerakan buruh terorganisir pada masa lalu menunjukkan jejaknya dalam kondisi kontemporer dan.
Atau apakah masa lalu itu sudah terbenam di palung sejarah terdalam tanpa kemungkinan muncul ke permukaan?
Tulisan ini adalah catatan diskusi–mungkin agak panjang–yang saya sampaikan dalam acara peluncuran buku ini di kampus Universitas Malang.
Di luar kegiatan peluncuran buku, saya pun ingin mengajak diskusi yang lebih luas tentang buku dan tema yang menjadi perhatian buku ini dalam dunia maya.
***
Sebagai sebuah kajian sejarah dengan fokus gerakan buruh, buku ini menunjukkan bahwa setelah pukulan keras pemerintah kolonial terhadap gerakan buruh pada 1926, riwayat gerakan buruh bukan sama sekali lenyap dari panggung sejarah Indonesia. Ingleson justru menampilkan aktivisme serikat buruh di bawah represi kolonial yang semakin ketat membatasi ruang gerak politik pada saat itu.
Ringkasnya, Ingleson membuka kembali diskusi terkait sejarah gerakan buruh di Indonesia dengan menampilkan rentang pengalaman aktivisme buruh sepanjang dekade akhir 1920an dan 1930an yang menurutnya memiliki gambaran yang sama dinamisnya dengan situasi sebelumnya. Sudut pandang ini menjadi kontribusi penting Ingleson terhadap historiografi gerakan buruh di Indonesia.
Kita segera mendapatkan kisah yang rinci tentang upaya aktivis serikat buruh menjaga antusiasme buruh terlibat dalam serikat dengan menjadi pembela kepenting mereka. Lalu, pada saat yang sama mereka harus tetap menjaga irama organisasi mereka tetap berada dalam koridor legal yang diakui pemerintah.
Sudah barang tentu ini bukan persoalan yang mudah dalam konteks 1920an dan 1930an. Periode tersebut menampilkan berbagai persoalan yang menjadi tantangan berat bagi aktivis serikat untuk tetap bertahan menjadi kekuatan yang diperhitungkan oleh pihak manajemen dan juga pemerintah.
Pertama, sebagai akibat pemogokan yang gagal pada Mei 1925, diiringi dengan penghancuran kekuatan Partai Komunis Indonesia dan unsur-unsur yang memiliki kaitan dengannya, kita mendapatkan ‘rasa jera’ buruh terlibat dalam kegiatan serikat. ‘Rasa Jera’ itu bukan tanpa alasan.
Pemerintah kolonial menindak tegas para pemimpin serikat, dengan hukuman penjara dan juga pemecatan massal terhadap orang-orang yang dianggap terlibat dalam serikat buruh radikal. Pengalaman itu menimbulkan menurunnya rasa percaya buruh terhadap para pemimpin serikat, yang umumnya adalah orang-orang yang berlatar belakang bukan buruh, yang mengobarkan semangat perlawanan tetapi pada saat yang sama justru dianggap mengorbankan buruh-buruh biasa dengan agenda-agenda politik yang lebih mewakili kepentingan para pemimpin dibanding kebanyakan buruh dalam serikat.
Jadi, seperti yang ditunjukkan dalam bab-bab awal buku ini, tantangan pertama bagi para aktivis serikat adalah meyakinkan kembali buruh tentang pentingnya organisasi serikat yang memperkuat buruh untuk melindungi dan memperbaiki kesejahteraan hidup mereka.
Dalam kaitan ini, kita melihat bagaimana ‘tekanan memperbaiki kesejahteraan’ menjadi konsekuensi yang mewarnai riwayat awal organisasi-organisasi serikat baru yang kembali dibentuk oleh para aktivis serikat buruh seperti di lingkungan pergadaian, pegawai pemerintah, kereta api, kantor-pos, rumah sakit dan sebagainya. Melalui media yang mereka terbitkan, tekanan terhadap kesejahteraan buruh telah mendahului atau bahkan mengatasi seruan-seruan yang berbau politik.
Kedua, dekade 1920an akhir dan 1930an menjadi masa yang berat bagi kaum buruh di Indonesia saat itu, yang juga mempengaruhi dinamika pergerakan serikat buruh. Di luar batasan politik, krisis ekonomi sepanjang periode Depresi ekonomi global telah semakin melemahkan kekuatan buruh yang ada pada saat itu. Merosotnya produksi telah menyebabkan pemerintah dan juga perusahaan-perusahaan swasta untuk mengurangi jumlah pekerja mereka. PHK dan penggangguran massal menjadi persoalan yang menakutkan.
Pemerintah dan majikan swasta pun memanfaatkan situasi ini untuk semakin melemahkan dan memundurkan kualitas hidup buruh. Kebijakan-kebijakan pemerintah mengurangi penerimaan pegawai baru, mempercepat pensiun dan mengurangi dana pensiun yang diterima pensiunan atau janda pensiunan buruh menjadi gambaran penting yang muncul sepanjang periode Depresi itu. Begitu juga dengan pihak swasta yang mengambil kesempatan untuk menurunkan tingkat upah minimum bagi buruh sepanjang periode Depresi ini.
Konsekuensi logis dari perkembangan ini adalah serikat banyak kehilangan anggotanya. Tidak dapat disangkal, selain represi langsung pemerintah kolonial terhadap kegiatan buruh terorganisir, seperti terjadi di berbagai belahan dunia lainnya, Depresi adalah pukulan besar kekuatan buruh terorganisir. Bagi serikat-serikat, merosotnya jumlah anggota juga memberi konsekuensi menurunnya kas organisasi dan aktivitas mereka. Program-program serikat berkurang, frekuensi terbitan mereka pun harus menyesuaikan keadaan keuangan. Buruh pun semakin enggan terlibat aktif dalam serikat. Mereka yang bekerja harus waspada terhadap gelombang pengangguran yang siap menggantikan tempat mereka dan rela menerima upah yang lebih rendah dibanding ketentuan wajar. Bahkan para buruh yang bekerja pun harus merelakan diri melakukan pekerjaan lain di luar tugas yang menjadi kewajiban mereka.
Keadaan mulai membaik memasuki pertengahan dekade 1930an. Namun, segala kemenangan yang pernah diraih buruh pada dekade sebelumnya seperti terhapus oleh Depresi. Tingkat upah secara riil telah merosot jauh dibanding masa-masa awal dekade 1920an ketika gerakan buruh mengalami perkembangan pesat di Hindia-Belanda. Ringkasnya, Depresi menjadi cara dan instrumen mudah bagi negara dan pengusaha untuk mengalahkan kekuatan buruh dan membuat mereka menjadi lebih patuh dibanding sebelumnya.
***
Satu tema penting yang menjadikan buku ini layak baca adalah tarik-ulur yang menandai hubungan antara gerakan buruh dan serikat buruh dengan politik kebangsaan pada dekade 1920an dan 1930an.
Seperti disebut sebelumnya, perubahan-perubahan politik di Hindia Belanda setelah kegagalan pemberontakan komunis adalah munculnya kekuatan politik baru yang mengusung gagasan nasionalisme Indonesia. Tokoh utama dari gerakan ini adalah Sukarno melalui Partindo dan yang dibentuknya di Bandung. Begitu juga dengan Mohammad Hatta dan Sjahrir yang kembali dari Belanda dan mulai membentuk PNI Baru. Di Surabaya, Soetomo yang menjadi patron dari banyak kegiatan politik di Jawa Timur membentuk Parindra, yang merupakan gabungan antara Boedi Oetomo yang lama dengan Persatuan Bangsa Indonesia di Surabaya.
Pengalaman dalam dekade sebelumnya menunjukkan bagaimana partai-partai tersebut bersaing untuk mendapatkan dukungan dari serikat sebagai kekuatan penting dalam gerakan politik mereka. Masing-masing partai memiliki divisi tentang perburuhan sendiri. Bagaimanapun, ia tidak menjadi pengganti kekuatan serikat buruh yang berkembang secara mandiri.
Sebuah pertanyaan besar yang muncul di kalangan aktivis-aktivis, baik yang bergerak di partai politik maupun di serikat buruh, adalah bagaimana hubungan di antara keduanya.
Tidak dapat disangkal, secara umum ada kesepakatan bahwa serikat buruh adalah sebuah organisasi yang mandiri. Kita bisa melihatnya dalam pidato Sjahrir dalam kongres PNI Baru di Bandung yang menegaskan:
Kaum buruh harus mempunya Sarekat Sekerdja dengan organisasi dari kaum sekerja sendiri, pendek harus tahu bahwa kaum buruh ta’bisa tertulung atas nasibnya apabila tidak dengan kekuatan sendiri, organisasi sendiri jang betul2 cocok dengan kemauan kaum buruh sendiri. (hal. 336)
Pidato Sjahrir menjadi gambaran bagaimana serikat buruh sesungguhnya merupakan sebuah organisasi yang mandiri tanpa dibatasi perbedaan aliran politik, agama, budaya dan ras. Bahkan Sjahrir pun menyampaikan bahwa tujuan perjuangan buruh memiliki agenda jangka panjang yang berbeda dengan tujuan-tujuan partai politik dalam mencapai kemerdekaan Indonesia. Ia mengatakan:
So’al kemerdekaan bangsa memang djuga so’al kaum buruh akan tetapi so’al kaum buruh tidak habis dengan kemerdekaan bangsa, so’al buruh baru selesai dengan hilangnya kapitalisme. Didalam Indonesia Merdeka, belum tentu kaum buruh merdeka, tetapi Indonesia Merdeka boleh berarti untuk kaum buruh bertambah longgarnya kungkungan politik jang dirasainya. (hal. 337)
Ringkasnya, melalui pidato itu Sjahrir menegaskan bahwa tujuan akhir dari gerakan buruh adalah penghapusan sistem kapitalisme yang menjadi dasar dari terjadinya eksploitasi modern kaum buruh oleh pihak majikan. Kemerdekaan politik bukan jaminan bagi tercapainya tujuan perjuangan kaum buruh.
Kesadaran untuk menempatkan serikat buruh sebagai sebuah organisasi yang mandiri, yang menerima semua anggotanya dengan ragam latar belakang, bagaimanapun bukan persoalan mudah. Ada godaan besar bagi partai-partai politik untuk membangun kontrol terhadap serikat buruh, baik secara langsung atau pun tidak langsung. Banyak di antara anggota partai pada dasarnya juga anggota partai politik yang ada pada saat itu.
Bahkan pada akhirnya, seperti dilakukan partainya Sjahrir sekalipun, mereka pun membentuk sendiri organisasi serikat baru dan bersaing dengan organisasi-organisasi serikat yang telah ada, tidak jarang dengan kerugian dari serikat-serikat sebelumnya.
Ringkasnya, terdapat dinamika menarik yang menjadikan perhatian terhadap dinamika politik perburuh pada dekade 1920an dan 1930an menjadi sebuah periode tersendiri dalam sejarah gerakan buruh. Dinamika sejarahnya berjalan seiring dengan karakter zaman berbeda dari masing-masing periode dalam sejarah Indonesia.
***
Sebagai penulis buku ini, John Ingleson telah melakukan studi yang cukup mendalam terhadap sejarah buruh sepanjang dekade tersebut. Ia menggunakan informasi dari koran-koran yang diterbitkan serikat buruh dan partai-partai politik menggantikan keterbatasan dalam arsip-arsip yang tersedia. Melalui kekayaan sumber yang digunakannya, kita mendapatkan gambaran yang beragam tentang dinamika sejarah yang terjadi di lingkungan serikat buruh sepanjang periode tersebut, termasuk gambaran yang sangat rinci tentang kehidupan sehar-hari kaum buruh di Jawa sebelum dan sesudah periode Depresi.
Di sini kita mendapatkan gambaran menarik tentang karakter masyarakat Hindia-Belanda yang berkembang menjadi masyarakat kota. Adalah dalam lingkungan perkotaan itu kita mendapatkan sebuah panggung bagi gerakan politik modern dalam sejarah Indonesia. Bisa dikatakan bahwa sejarah gerakan buruh memiliiki kaitan yang erat dengan sejarah pembentukan kota-kota di Hindia Belanda yang berkembang sejak peralihan abad ke-20.
Gerakan buruh adalah sebuah gerakan modern dengan tradisi modern yang menjadi instrumen utama pergerakannya. Berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya yang pernah lahir, seperti gerakan petani dan pemberontakan mereka di perdesaan, kaum buruh bergerak tanpa perlu kehadiran “Ratu Adil” atau tokoh kharismatik yang menciptakan barisan pengikuti di kalangan petani. Seperti yang disebutkan dalam buku ini, keberhasilan dan kekuatan serikat buruh lebih ditentukan pada kecakapan seorang pemimpin dalam menjalankan roda organisasinya. Bahkan, anggota serikat pun menyadari tentang pentingnya seorang pemimpin yang cakap dan berani membayar dengan imbalan yang lumayan untuk seseorang menjadi pemimpin mereka.
Seorang pemimpin yang cakap memiliki ketekunan dalam membangun organisasi, melakukan negosiasi dengan pihak manajemen, memahami persoalan hukum dan politik yang secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan sehari-hari buruh. Ukuran sederhana tentang keberhasilan seorang pemimpin yang cakap adalah jumlah anggota yang terus bertambah di bawah kepemimpinan mereka. Jadi, pola hubungan pemimpin dan pengikut dalam serikat buruh benar-benar mencerminkan sebuah tradisi baru tentang bagaimana kerja sebuah organisasi modern di dalam masyarakat modern. Gerakan buruh adalah gerakan modern dan berkembang dalam masyarakat modern.
***
Membaca karya Ingleson tentang gerakan buruh sepanjang dekade 1920an dan 1930an itu pun pada akhirnya mengundang sejumlah pertanyaan terhadap kehidupan kita masa kini. Ada sejumlah tradisi yang bersifat modern itu yang sepertinya belum muncul dalam panggung gerakan buruh kontemporer.
Kita juga mendapatkan gambaran bagaimana kemandirian dalam mengelola organisasi ditunjukkan pula dalam bagaimana organisasi serikat mengelola dana mereka. Iuran anggota sudah pasti menjadi sumber utamanya. Atas dasar iuran itu mereka dapat mengembangkan penerbitan sendiri, membangun koperasi simpan-pinjam yang memberi dukungan kesejahteraan bagi anggota-anggotanya, termasuk dana pensiun dan santunan kematian bagi anggota.
Pekerjaan memungut iuran bukan hal yang mudah. Dalam buku ini diuraikan pula bagaimana rasa frustasi pimpinan serikat berhadapan dengan anggotanya ‘yang hanya ingin menikmati kesejahteraan bersama tetapi tidak mau berkorban dengan mengeluarkan iuran mereka.’ Belum lagi tingkat partisipasi aktif anggota yang seringkali tidak konsisten. Dalam harian yang terbit dari masing-masing buruh, disebutkan pula bagaimana dorongan partisipasi menjadi perhatian dari pimpinan serikat buruh.
Hal menarik adalah perbedaan antara serikat sektor swasta dan sektor publik (pegawai negeri) pada saat itu. Serikat buruh yang kuat adalah serikat yang bergerak di sektor publik, seperti guru, perawat, pegawai administrasi pemerintah, dan serikat-serikat di perusahaan-perusahaan pemerintah seperti jawatan kereta api dan pergadaian. Mereka memiliki struktur organisasi yang rapi, administrasi keanggotaan yang baik dan termasuk pendanaan organisasi. Sementara di sektor swasta, keberadaan organisasi serikat tidak sekuat dan sekaya serikat-serikat di sektor publik.
Salah satu gambaran penting dari kekuatan serikat di sektor publik ini ditunjukkan dalam inisiatif yang lahir dari kalangan guru. Sebagai upaya menopang kesejahteraan anggotanya, serikat guru membuat usaha asuransi sendiri dengan mengeluarkan polis yang dibeli anggotanya, dan juga anggota-anggota serikat buruh lainnya (serikat buruh lain mendapat keuntungan dengan menjual polis asuransi milik serikat guru ini). Badan asuransi yang dibentuk serikat guru ini adalah Asuransi Jiwa Bumi Putera yang sampai sekarang masih dapat kita lihat keberadaannya.
Begitu juga dengan inisiatif lainnya yang dilakukan serikat perawat. Mereka membangun klinik-klinik yang beroperasi di kampung-kampung dan berjalan dengan baik melayani kesehatan warga umum. Dengan dukungan para dokter, klinik-klinik tersebut menjadi saran bagi perluasan pemahaman tentang kesehatan dalam masyarakat.
***
Membaca sejarah itu dan melihat kembali periode kontemporer kita, tidak dapat disangkal bahwa gambaran yang tampil adalah ‘kemunduran besar’ dalam sejarah gerakan buruh Indonesia. Pukulan rezim Orde Baru yang memberangus gerakan serikat buruh yang dianggap memiliki afiliasi dengan gerakan kiri, dan kontrol serikat buruh di bawah negara adalah satu alasan mengapa kemunduran yang terjadi begitu besar pada masa kini dibanding sejarah masa lalu mereka.
Namun, bukan berarti masa depan bagi kita akan selamanya suram. Saya kira, memahami sejarah yang pernah ada akan memberi inspirasi tentang apa yang bisa dilakukan pada masa kini. Sudah pasti tidak akan pernah sama dengan pengalaman masa lalu. Kita yang hidup di masa kini memiliki persoalan dan metode yang pasti berbeda. Namun, kita bisa mengukur dan bercermin sejauh mana kita berada dalam gerak yang menunjukkan kemajuan atau terus berjalan di tempat memunggungi sejarah.
Seperti yang ditunjukkan dalam buku ini, kemajuan gerakan buruh tidak berhenti untuk sekedar kepentingan kaum buruh sendiri. Ia menjadi pendorong kemajuan dalam masyarakat yang lebih luas. Pengalaman sejarah membuktikan buruh selalu bergemuruh.