Di sebuah gang sempit di lingkungan komunitas Arab Bogor, terbaring pelukis besar Indonesia, Raden Saleh Sjarif Bastaman (1807/1811 – 1880).
Makamnya terletak sejajar bersama istri keduanya, Raden Ayu Danurejo, yang berasal dari kalangan ningrat keluarga kerajaan Yogyakarta.
Raden Saleh adalah sosok awal orang-orang pribumi modern yang melanglang buana bertemu para raja, pangeran, kalangan intelektual, penulis, dan filsuf di benua Eropa ketika imperialisme Eropa berada di titik puncaknya. Ia menghirup aroma modernitas Eropa, berpikir dan menjalani kehidupan pribadi dengan cara itu.
Salah satu catatan penting karirnya adalah ketika diangkat menjadi pelukis istana keluarga kerajaan Belanda. Pada saat yang sama orang-orang Belanda di tanah airnya menganggap kaum pribumi (dan termasuk Timur Asing lainnya) lebih rendah kedudukan dan kesadaran inteleknya dibanding kulit putih.
Di luar ironi itu, Raden Saleh sendiri menganggap rendah orang-orang Eropa di Hindia-Belanda. “Mereka cuma bisa bicara gula dan kopi atau kopi dan gula!” Begitulah gambaran para birokrat dan pengusaha kulit putih di Hindia Belanda di mata Raden Saleh.
Kekesalan Raden Saleh sepertinya berlaku untuk keadaan sekarang. Kondisi makamnya di sebuah gang sempit, di balik toko-toko yang berjejer di sepanjang Jl. Pahlawan Bogor, memberikan kesan kesadaran mental yang rendah terhadap warisan sejarah dan budaya penting.
Dinas pariwisata dan kebudayaan provinsi Jawa Barat memang telah melakukan pemugaran dan perbaikan terhadap makamnya. Penataan pagar dan ruang galeri yang memamerkan karya-karyanya dilakukan melalui “Proyek Pembangunan Fasilitas Publik Makam Raden Saleh.”
Namun, hasil pemugaran itu masih jauh dari bayangan tentang sosok yang menjadi bagian penting sejarah Indonesia abad ke-19. Analogi “gula dan kopi atau kopi dan gula” sepertinya tetap berlaku . Masih banyak yang harus dikerjakan.
Tabik
Andi Achdian - historian but more likely an amateur poet 