Boleh jadi julukan itu terlalu berlebihan bagi warga kota Bogor yang sehari-hari lebih akrab dengan kemacetan. Namun, menjadi tidak berlebihan saat saya dan putri yang mendapat tugas dari sekolah megunjungi pameran temporer keragaman hayati di kota Bogor.
Begitu kesan ketika menjadi guide museum bagi putri cilik yang mendapat tugas kunjungan museum dari sekolahnya. Rasa riang kanak-kanak terhadap segala yang benda dan informasi yang disampaikan membuat kunjungan museum kali ini terasa berbeda.

Salah satu ruang pamer yang mengesankan adalah Ruang Sejarah Rempah-Rempah. Ada panel informasi dengan ilustrasi gambar yang menarik menceritakan sejarah panjang rempah-rempah sejak kemunculan peradaban besar dunia seperti Assyria, Babylonia, Sumeria yang bertempat di lembah subur bulan sabit.
Namun, seperti juga kanak-kanak lainnya, putri saya tidak dapat berdiri lebih lama dari satu menit untuk mengikuti alur panel informasi itu. Ia lebih menyukai memperhatikan benda-benda tiga dimensi yang turut dipajang di ruang tersebut seperti biji-bijian, cabai, cengkeh, pala, kayu manis dan lainnya dalam kategori rempah-rempah. Dalam hati, saya pun memuji konsep penataan benda pajang dan label informasi terkait benda-benda itu. Segala sesuatu ditata dengan baik. Tata cahaya yang baik–tidak seperti kebanyakan museum yang seringkali remang-remang dengan tata cahaya yang menyeramkan–membantu keriangan menikmati koleksi di dalam ruang ini.

Di samping ruang rempah-rempah, ada pula ruang berisi koleksi kayu gaharu sebagai “emas hijau” dalam sejarah dunia. Sekali lagi saya patut memuji konsep penataan ruang yang menarik. Para pengunjung segera dapat mencium aroma tumbuh-tumbuhan yang sejak masa kuno digunakan sebagai pengharum ruangan. Di salah satu sudut, ada nyala dupa dari kayu gaharu yang memberi nuansa eksotik keharuman tropis yang mempesona.

Pengalaman mengesankan lainnya adalah saat memasuki ruang pamer keragaman tanaman pangan yang menjadi bagian dari kegiatan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dalam mengupayakan diversifikasi pangan di negeri ini. Ada jagung berwarna ungu (putri saya lebih tertarik dengan warna ungunya dibanding jagungnya), beras dengan sebutan latin yang saya lupa namanya, dan termasuk biji-bijian yang diolah menjadi tepung.
Penunggu ruang pamer yang ramah menawarkan kue buatan mereka dengan tepung baru. Yummy!!! Rasanya enak dan bernuansa di lidah. “Sesungguhnya kita tidak perlu repot mengimpor bahan pangan, kita punya cukup banyak,” ujarnya. Seharusnya memang demikian! Namun ini bukan pernyataan yang sedap bagi telinga para pedagang dan pemburu rente yang mengais rezeki dari ketergantungan impor pangan Indonesia.
Masih ada banyak lagi ruang pamer menarik yang dengan sukarela saya acungkan dua jempol untuk perancang pameran ini. Putri saya pun menyempatkan diri berpose di dinding foto yang penuh dengan tanda-tangan pengunjung. Ia berpose dengan manisnya sekaligus mengakhiri pengalaman berkunjung ke pameran itu.
Pameran ini rencananya akan terus berlangsung sampai awal tahun 2016. Sayangnya, kegiatannya masih terbatas pada hari kerja. Jadi, belum dibuka untuk umum di hari libur (Sabtu – Minggu).
Bagi para orang tua (saya pun termasuk kategori ini 😀 ) yang ingin mengenalkan putra-putri mereka tentang kaitan kehidupan manusia dengan alam sekitarnya, saya meyakini kalau agenda mengunjungi pameran temporer ini menjadi keputusan yang tidak akan Anda sesali.
Tabik.
(catatan dari kaki gunung salak)
Sungguh menginspirasi saya pak andi. Selain berwawasan, ternyata bapak seorang pendidik anak yang hebat juga…hehehe
LikeLike
Terima kasih Revin. Ternyata penulis juga. Keep on going …
LikeLike