Ada banyak cara bagi setiap masyarakat mengukuhkan identitas diri dan posisi mereka dalam lingkup dunia global sebagai satu agenda pembangunan bangsa (nation-building). Sejak awal abad ke-20, Amerika Serikat telah menanamkan tradisi Pledge of Allegiance yang menegaskan janji warga negara AS menjunjung kedaulatan mereka sebagai bangsa yang satu dan tak terpisah.
Di hadapan bendera nasional dengan lengan menyilang di dada, kanak-kanak di tingkat sekolah dasar setiap harinya memulai pelajaran mereka dengan mengucapkan ikrar itu. Ikrar itu juga menjadi sumpah yang diucapkan orang asing yang menjadi warga negara AS. Di Indonesia, kita memiliki pembanding yang sejajar dalam momen yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda, meski formalitasnya dan intensitasnya tidak sekuat AS.
***
Sebagai peristiwa sejarah yang terjadi, peristiwa 28 Oktober 1928 adalah momen kecil dalam arus pergerakan nasional ketika kelompok-kelompok pemuda dari berbagai aliran dan latar belakang etnis mengucapkan deklarasi tentang Bangsa, Bahasa dan Tanah Air yang satu. Beberapa penggagas bahkan lebih fasih menyampaikan gagasan mereka dalam bahasa Belanda dibanding bahasa Indonesia yang mereka usulkan menjadi bahasa nasional.
Dalam dinamika politik anti kolonial pun ia tenggelam dalam lautan persoalan-persoalan politik lain yang dihadapi kaum nasionalis Indonesia saat itu. Baru ketika kebutuhan sebuah proses nation-building yang menjadi agenda utama Sukarno pada dekade 1950an, atas usul Muhammad Yamin, Sumpah Pemuda dicanangkan menjadi tonggak sejarah yang dirayakan, mulai dari sekolah, pabrik-pabrik sampai kantor-kantor pemerintahan.
Menjadikan momen Sumpah Pemuda sebagai tradisi penguat kesadaran persatuan nasional dalam kaitan ini menarik. Ia menjadi sebuah landasan politik yang kuat pada saat itu, dan sampai sekarang, untuk menentukan ‘ciri-ciri nasionalisme’ Indonesia dalam pergerakan anti-kolonial saat itu. Ada tiga hal penting yang perlu kita catat dan terlupakan pada masa kini ketika kita berbicara tentang momen Sumpah Pemuda dan kandungan makna politik di dalamnya.
Pertama, dalam proses perjalanan sejarahnya, ide Indonesia yang dilontarkan dalam deklarasi Sumpah Pemuda menjadi penanda penting yang dapat dikatakan sebagai ‘westernisasi’ atau ‘modernisasi’ masyarakat di Hindia Belanda yang masih dicengkram oleh tradisi feodal yang kolot, dan batasan-batasan rasialis masyarakat kolonial menjadi suatu masyarakat modern yang bersifat anti-feudal dan anti-kolonial.
Kedua, melalui pencetusan ide tersebut, terdapat dorongan bagi kelompok-kelompok etnis yang berbeda untuk membentuk sebuah ‘ruang politik baru’ yang mana penerimaan terhadap ide Indonesia berarti pula penerimaan kalangan pergerakan untuk melepaskan diri dari persoalan-persoalan daerah, lokal dan parokial.
Ketiga, ruang politik baru itu juga selanjutnya menuntut sebuah bentuk ‘kompromi’ di antara kekuatan politik yang berbeda untuk membatasi diri mereka dari kepentingan-kepentingan kecil atau keinginan sendiri untuk membangun keinginan-keinginan sebuah bentuk masyarakat yang lebih besar, yaitu Indonesia.
Seperti yang disampaikan seorang sejarawan Indonesia, ide Indonesia yang diusung para pemuda itu pada akhirnya menempatkan ‘ideologi-ideologi politik’ yang dimiliki para pemimpin dari aliran sosialisme, komunisme, liberalisme dan demokrasi tidak lebih sebagai sebuah ‘kode moral’ dalam perjuangan mereka, dikalahkan oleh sebuah ide yang lebih besar yang dapat ‘secara konsepsional mengorganisiri masyarakat’ (Onghokham, 1989).
Di sinilah terdapat arti penting bagi kita untuk menempatkan pemahaman kita mengenai Sumpah Pemuda sebagai tonggak penting yang mewarnai sejarah pergerakan kebangsaan Indonesia pada saat itu.
***
Deklarasi Sumpah Pemuda adalah penanda baru sejarah pergerakan kebangsaan yang mana akan kita temukan sebuah perasaan persatuan nasional di semua kalangan Indonesia, termasuk pada golongan pamong praja, maupun para tokoh-tokoh politik Indonesia di parlemen saat itu (Volksraad) yang dianggap kooperatif terhadap rezim kolonial Belanda. Sebagai bahasa politik, ia menggantikan istilah Hindia Belanda dalam bahasa formal kenegaraan, dan menyebut orang-orangnya sebagai inlander (pribumi) dalam percakapan sehari-hari. Sebuah proses budaya dan politik yang mendorong emansipasi penduduk yang berada di bawah kekuasaan kolonialisme Belanda.
Dalam kaitan ini ide Indonesia adalah sebuah bahasa pembebasan. Kita yang sekarang ingin mengenang momen itu dan mengukuhkannya sebagai sebuah tradisi penting dalam kalender nasional Indonesia, sudah seharusnya menyadari bagaimana agenda pembebasan itu mewujud dalam koridor politik Indonesia masa kini.
Ide Indonesia tidak pernah final. Ia adalah konsep yang terus menjadi. Ia pun dapat menjadi penimbang terhadap kualitas praktek politik kita dalam sebuah negara-bangsa. Dari titik tolak ini maka kita baru bisa berbicara dan mendefinisikan ‘masalah-masalah nasional’ Indonesia pada masa kini.