DI PERPUSTAKAAN KITLV Leiden, Belanda, ada satu entry dengan nama Jacques Leclerc (1935-1995) tersimpan sebagai salah satu koleksi perpustakaan itu. Kepada petugasnya saya menyerahkan rujukan nama tersebut dan mendapatkan beberapa boks berisi lembar-lembar kertas (bertulis tangan) dan foto yang menjadi koleksi pribadi Leclerc.
Salah satu lembar kertas berisi matriks yang menggambarkan partai-partai politik di Indonesia pada dekade 1950-an dalam konjungtur waktu satu dekade dan persentase suara yang mereka raih. Saya mendapat kesan menarik perihal metode kerja seorang sejarawan yang melihat dalam persoalan sejarah bukan sekadar rentetan peristiwa, tetapi analisis yang cermat mirip pekerjaan ilmuwan sosial dengan data hasil survei sebelum membuat “manipulasi” statistik menjadi argumentasi yang bermakna. Mengesankan tentunya.
Sifat mengesankan ini terutama terletak pada kenyataan bahwa manuskrip pribadi Leclerc belum menggambarkan apapun yang bisa membawa para pembaca sejarah Indonesia –terutama sejarah politiknya—pada pemikiran tertentu tentang peristiwa yang terjadi. Kertas kerja dengan matriks dan kronologi rinci itu ibarat dapur yang berantakan. Perangkat memasak, bumbu, dan bahan makanannya ada, tetapi belum siap hidang sebagai masakan lezat di meja makan kita. Ringkasnya, ada “jarak” yang membedakan proses produksi dengan bentuk akhir yang siap hidang. Catatan-catatan pribadi Leclerc mewakili bayangan ini.
Mengapa “suasana dapur” sejarawan Jacques Leclerc ini saya pandang menarik? Karena ketika Anda membaca buku ini, keempat karya tulis Leclerc di sini justru sama sekali tidak menampakkan hitungan matematis yang rumit dari matriks tentang kehidupan politik Indonesia. Tulisan-tulisannya tampil dengan prosa yang memikat, menyuguhkan sosok historis orang-orang yang menjadi fokus kajiannya beserta persoalan-persoalan yang muncul dalam suatu periode historis tertentu.
Pada kesempatan lain, sosok Leclerc dan kontribusinya terhadap kajian sejarah Indonesia juga sempat tercetus dalam suatu obrolan saya bersama sejarawan terkemuka Indonesia, Onghokham, dengan topik pembicaraan mengenai kecenderungan-kecenderungan umum dalam kajian tentang Indonesia, khususnya sejarah Indonesia.
***
Tak dapat disangkal, bahwa sejak 1970-an ada satu arus utama yang membentuk orientasi kajian Indonesia dengan produsen utama saat itu para sarjana dari universitas Cornell. Melalui pembentukan Cornell Indonesian Modern Project (CIMP) yang dipelopori oleh pionir kajian sejarah Indonesia di luar negeri, George McTurnan Kahin, dengan karya klasiknya Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, serta penerbitan jurnal berpengaruh, Indonesia, yang dimotori oleh murid Kahin, Benedict Anderson, para sarjana asal Cornell telah menciptakan pengaruh signifikan terhadap arus dan orientasi kajian Indonesia.
Dialog antara saya dengan Onghokham berlangsung seputar pengaruh besar para sarjana asal Cornell seperti Kahin, Anderson, dan murid-murid mereka kemudian. “Cornell itu sangat romantis,” kata Onghokham. Di tangan mereka, “masyarakat Indonesia atau khususnya Jawa menjadi begitu unik seperti tidak ada bandingnya di dunia. Kita seperti bangsa tersendiri di dunia ini.”
Saya pun tergerak untuk bertanya lebih lanjut, “Lalu siapa orang atau sejarawan yang menjadi favorit Ong?” Ia terdiam sejenak dengan mata menerawang. Sambil menunggu jawaban, saya menyebutkan nama-nama seperti Ben Anderson dan khususnya Takashi Shiraishi dengan karya menariknya tentang sejarah pergerakan nasional Indonesia.
Akhirnya Ong memberi jawaban. Ia singgung sepintas guru dan pembimbingnya di universitas Yale sebagai orang cerdas yang ia kagumi. Ong seperti menekankan bahwa kajian-kajian Indonesia yang lahir di Yale adalah sesuatu yang menarik perhatiannya. Tetapi kemudian ia memberi tambahan seperti menanggapi rasa tidak puas atas sifat umum jawaban yang diberikannya. “Kalau menyebut nama, saya lebih suka menyebut Jaqcues Leclerc sebagai sejarawan favorit saya,” demikian Ong menutup pertanyaan saya.
***
Setelah dua kesan singkat di atas, saya ingin mengajak pembaca menelaah mengapa Leclerc istimewa dalam ranah kajian sejarah Indonesia. Saya akan memulainya dari karyanya yang paling menarik –penilaian soal “paling menarik” ini subyektif, tentunya—yakni artikelnya tentang Amir Sjarifuddin. Sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, tulisan ini pertama kali terbit dalam buku yang diedit Angus McIntyre tentang biografi politik para pemimpin Indonesia, Indonesian Political Biography: In Search of Cross-Cultural Under standing (Monash, 1993). Pemahaman lintas-budaya sebagai kerangka penulisan memang dengan tepat diwa kili oleh artikel Leclerc yang menjadi tulisan pertama buku di tersebut. Dari sini kita pun bisa mengerti bagai mana kontribusi Leclerc terhadap kajian sejarah Indonesia.
Amir Sjarifuddin adalah tokoh penting Indonesia, pernah menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Perdana Menteri sepanjang periode Revolusi. Akhir hidupnya cukup tragis karena mati di tangan para polisi militer yang ditugaskan menembaknya setelah Mohammad Hatta memerintahkan penangkapan dan eksekusi dirinya dengan mengabaikan protes sia-sia Sukarno terhadap eksekusi mati tersebut.
Amir dituding terlibat peristiwa Madiun 1948, ketika orang-orang komunis diangap menusuk dari belakang pemerintah Republik dengan proklamasi Soviet Madiun (ini pun masih menjadi kontroversi apakah proklamasi Soviet Madiun itu benar-benar menjadi agenda aktivis komunis di Madiun saat itu). Peran sejarah Amir dalam Revolusi Indonesia dengan cepat (dan sengaja) dilupakan, namanya pun tenggelam di antara sosok besar lainnya seperti Sukarno, Hatta, dan Sjahrir. Terutama pada zaman Orde Baru, Amir Sjarifuddin hanya mendapat satu cap: komunis pengkhianat. Leclerc hadir memberikan cahaya atas kisah Amir yang terbuang dalam kegelapan sejarah Indonesia versi Orde Baru
Upaya memulihkan nama Amir bagaimana pun toh bukan langkah baru. Satu dekade sebelumnya, lahir sebuah disertasi yang disusun Pendeta Frederiek Djara Wellem dan diterbitkan penerbit Sinar Harapan (1984) dengan judul Amir Sjarifoeddin: Pergumulan Imannya dalam Perjuangan Kemerdekaan. Tulis Leclerc, Amir tampak bagai tokoh Faust dalam disertasi ini, yang membuat perjanjian dengan setan komunis dengan alasan “kecintaan akan manusia yang justru harus ditebus dengan nyawanya.” Namun bahkan tafsiran versi ini pun tak disetujui pemerintah Orde Baru. Kejaksaan Agung melarang buku tersebut bahkan sebelum beredar.

Kontribusi menarik Leclerc pada studi tentang revolusi Indonesia adalah bagaimana ia menempatkan Amir sebagai bagian dari kuartet pemimpin revolusi Indonesia yang saling berpasangan yang terus bergerak dinamis antara Sukarno-Hatta, Sjahrir-Amir, Hatta-Sjahrir, Sukarno-Amir, ditambah dua tokoh penting lainnya, Tan Malaka dan Musso. “empat tokoh yang memimpin negara Indonesia selama bulan-bulan pertama, yaitu Sukarno-Hatta-Sjahrir-Amir, menurut urutan kehormatan institusional, naik turun kursi perdana menteri beriring-iringan seperti angka-angka sebuah arloji otomatis. Satu demi satu mereka turun, angka masing-masing pun berkurang,” begitu Leclerc melukiskan dengan indah dinamika politik revolusi Indonesia seperti diwakili masing-masing tokoh tersebut.
“Akhirnya formasi segi-empat itu hancur, dengan Sukarno dan Hatta saja yang tersisa. Angkatan muda lenyap dan bersama itu, untuk jangka waktu yang lama, juga impian mereka tentang sosialisme, serta harapan mereka tentang kehidupan politik Indonesia sebagai bagian dari sejarah dunia Kiri”. Saya kira belum ada pembanding lain yang dapat menandingi imajinasi intelektual pembaca tentang revolusi Indonesia selain model analisis yang disodorkan Leclerc ini. Formasi pasangan itu dalam tinjauan Leclerc mewakili persoalan lain dalam politik Indonesia, yaitu ketegangan antara Kanan-Kiri dan Kolot-Muda, yang menjadi ciri pergerakan dan dinamika politik saat itu.
Uraian Leclerc sebagai seorang sejarawan menampilkan kesan bahwa ia bukan sekadar pengamat dari masa depan atas kehidupan tokoh-tokoh masa lalu yang menjadi perhatiannya. Ia seperti bagian dari sejarah hidup itu sendiri, bak anggota laskar tentara pendukung kelompok Amir, yang bertempur pada satu waktu dan menjadi pencatat cerdas tentang gejolak politik di tingkat nasional pada waktu senggang. Di sini Leclerc mencapai apa yang menjadi idaman setiap sejarawan dalam tulisannya, yakni menjadi saksi langsung dan menulis dalam pandangan orang pertama yang tahu betul tentang “apa yang sesungguhnya terjadi dan memang seharusnya terjadi”—sebuah jawaban atas pertanyaan klasik what happened when it really happened dari sebuah peristiwa sejarah.
Hal yang menjadi ciri menarik Leclerc –seperti ciri kebanyakan sejarawan Perancis dari aliran Annales—adalah sifat perbandingan dalam analisisnya. Seperti dinyatakan salah seorang pendiri aliran itu, Marc Bloch, dalam tulisannya tentang Abad Pertengahan di eropa, ada dua cara bagaimana perbandingan sejarah bisa dilakukan. Sejarawan dapat membuat perbandingan dengan: pertama, “mencari fenomena universal dalam bentuk-bentuk budaya yang terpisah oleh waktu dan ruang;” dan kedua, “melakukan perbandingan paralel terhadap pengalaman masyarakat lain.” Bloch memilih yang terakhir yang menurutnya memberikan hasil kajian yang lebih kaya dan dekat dengan kenyataan (Land and Work in Medieval Europe, 1967, hlm. 46-48).
Leclerc sepertinya membawa semangat Bloch dalam kerjanya sebagai sejarawan ketika ia menganalogikan peristiwa Madiun sebagai “Komune Paris 1871” dan sosok Hatta “mengingatkan kita pada Thiers. Perebutan meriam-meriam Garda Nasional di Paris pada 1871, di bawah tatapan rasa puas orang-orang Prusia, serupa dengan dilucutinya pasukan rakyat Pesindo pada 1948 demi ketentraman hati Amerika.” Leclerc juga membuat perbandingan menarik tentang tembok besar yang menghadang kepemimpinan Amir sebagai Menteri Pertahanan, “ketika suatu ‘amalgam’ antara antusiasme pemuda dengan kemampuan militer dari bekas anggota pasukan kerajaan melebur dalam levee en masse”.
Dengan cara seperti ini, uraian Leclerc tentang sejarah revolusi Indonesia menjadi unik. unik bukan dalam cara pandang yang melihat Indonesia itu unik, namun unik dalam cara pandangnya yang melihat peristiwa-peristiwa dalam revolusi Indonesia bisa diperbandingkan dengan apa yang terjadi dalam revolusi-revolusi di belahan dunia lainnya.
Dari keseluruhan tulisan yang dikumpulkan di buku ini, Leclerc menampilkan bukan saja sebuah berkas hilang dari “sejarah yang diamputasi” sepanjang riwayat kekuasaan Orde Baru (atau sepanjang masa dewasa hidup Leclerc). Benang merah yang layak menjadi pegangan dalam memahami tulisan-tulisan di buku ini adalah upaya Leclerc melacak bagaimana “Indonesianisasi” Marxisme-Leninisme berlangsung dalam tataran sejarah Indonesia.
Leclerc memulai karirnya sebagai pengamat politik Indonesia dengan menulis disertasi tentang Aidit, karena dalam rangkaian pidato pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) itu, tampak sifat konstitutif pencarian identitas kiri di Indonesia sejak dekade 1920-an sampai 1965 sebelum PKI dihancurkan. Leclerc juga membuat ratusan wawancara dengan aktivis-aktivis serikat buruh yang aktif dalam dekade 1950-an dan 1960-an.
Di sini kita lihat bagaimana Leclerc memfokuskan diri untuk mencoba memahami gerakan sindikalisme radikal yang muncul sejak dekade kedua abad ke-20 melalui pembentukan organisasi serikat buruh kereta api, yang lalu melahirkan tokoh-tokoh utama pergerakan seperti Semaun, Darsono, serta Wikana. Peran mereka memang surut pasca 1928, ketika sesudah gerakan PKI dihancurkan, muncul pemimpin-pemimpin baru pergerakan yang lebih banyak terdiri dari anak sekolahan yang berasal dari kalangan priyayi rendahan dan tinggi, berbeda dengan anak-anak buruh yang menjadi ciri kepemimpinan fase awal pergerakan antikolonial di Indonesia.
***
Sepanjang karir akademisnya Leclerc telah bekerja sebagai peneliti di Centre d’Études et de Recherches Internationales (CeRI) de la Fondation Nationale des Sciences Politique sejak 1972. Ia mengajar sejarah dan sosiologi tentang masyarakat Indonesia dan Malaysia kontemporer di L’Institut national des langues et civilisations orientales (INALCO), aktif dalam serangkaian konferensi internasional dan selama tiga tahun menjadi ketua L’Association Française pour la Recherche sur l’Asie du Sud-est (AFRASe, 1989-1992).
Sepanjang periode itu Leclerc telah menghasilkan banyak kerja serius tentang sejarah Indonesia. Dalam beberapa hal pandangan dan keyakinannya bertabrakan dengan pihak-pihak di luar dan di dalam Indonesia. Ada episode ketika sejarawan Taufik Abdullah berseberangan dan membantah keras ucapan Leclerc yang mengatakan bahwa Sukarno telah “dibunuh tiga kali” dalam sejarah Indonesia. ucapan itu terlontar ketika kekuasaan Orde Baru masih tertancap kokoh dan banyak intelektual serta sejarawan Indonesia memilih hidup dalam kubu itu.
Sayang memang, penyakit kanker yang menggerogoti tubuh sejarawan Perancis ini selama delapan tahun terakhir hidupnya telah mengakhiri kesibukan dan pencarian intelektualnya. Leclerc meninggal pada 1995 dalam usia 60 tahun. Tipis sekali jaraknya dengan masa tumbangnya rezim Orde Baru yang mungkin akan memberinya cara baru dalam melihat sejarah Indonesia. Tak dapat disangkal sumbangan karya Leclerc yang telah memberi cahaya lain untuk mengatasi kekelaman sejarah Indonesia.
Tulisan-tulisannya yang selama ini berserakan di pelbagai berkala dan terbitan sudah waktunya dikumpulkan menjadi buku tersendiri seperti ini. Penghormatan kepadanya sebagai seorang sejarawan dan manusia yang penuh empati layak diberikan ketika pembaca selesai mengikuti seluruh tulisan di sini. Dan saya pun tidak ragu memberikannya.