Surabaya dan Penduduknya

(Diterjemahkan dari “Soerabaja en zijn Bevolking”. Bataviaasch Nieuwsblad. 9 April 1913). 

 

Wilayah sekitar Jembatan Merah Surabaya - KITLV Media
Wilayah sekitar Jembatan Merah Surabaya – KITLV Media

Pada Januari 1912, berdasarkan informasi yang kita terima, ada penurunan jumlah penduduk pribumi di kota Surabaya sampai 7000 jiwa. Pemerintah menyatakan bahwa penurunan itu diakibatkan perpindahan penduduk ke distrik-distrik pinggiran kota.

Zentgraaf dalam tulisannya di N. Soer Crt. (Nieuwe Soerabajasch Courant), menyatakan bahwa mereka tidak pergi begitu saja dengan sukarela, tetapi terpaksa karena proses yang telah berjalan selama satu dekade terakhir, dan mengalami percepatannya setahun belakangan.

Perlahan tapi pasti, penduduk pribumi harus menyerah pada kekuatan modal, dan dipaksa meninggalkan tempat tinggal mereka di tengah kota ke tempat lainnya. Wilayah tempat mereka tinggal sekarang telah beralih ke tangan perusahaan, para pengembang yang membangun hunian tempat tinggal untuk orang-orang Eropa, pabrik, perkantoran dan lainnya.

Tak seorang pun menanyakan ke mana mereka harus pergi? Tak seorang pun, dengan kesungguhan hati, meluangkan waktu untuk membahasnya. Sepertinya semua dianggap biasa. Penduduk pribumi harus hidup dari satu pengusiran ke pengusiran lainnya. Pertanyaan penting sekarang ini adalah, bagaimanakah seharusnya sejumlah 120.000 penduduk pribumi bisa tinggal di kota ini?

Seharusnya, pertanyaan kekurangan lahan hunian yang layak bagi penduduk pribumi di kota ini sudah dibahas setahun lalu sehingga persoalannya tidak serumit sekarang.

Kita pun sudah bisa membayangkan tidak mudah mencari jalan keluar atas pertanyaan tersebut. Beberapa tahun lalu Tuan Van Ingen (anggota dewan kota Surabaya—pen) melakukan studi banding terhadap persoalan perumahan rakyat di Belanda, Belgia, Prancis, Jerman, Swiss dan Inggris. Di Berlin ia mendapatkan jawabannya—dengan kenyataan bahwa kehidupan penduduk pribumi di Hindia memiliki kemiripan dengan kondisi penduduk miskin di kota-kota Eropa—dan menyusun sebuah kerangka kebijakan yang sepertinya dapat diterapkan dengan mudah di Surabaya. Terlebih lagi, kota-kota Eropa memiliki konsekuensi dan persoalan yang lebih rumit dibanding Hindia-Belanda.

***

Sekarang kita akan membahas bagaimana berjalannya pengusiran paksa penduduk pribumi di Surabaya selama beberapa dekade sebelumnya. Titik awalnya dimulai sejak pembangunan benteng Prins Hendrik yang memaksa sejumlah penduduk pribumi keluar dari lingkar zona benteng. Bagaimanapun model ini terjadi berulang-ulang.

Memasuki awal dekade 1880an, kota Surabaya mengalami perkembangan ke arah Selatan sampai batas Stadstuin (Taman Kota) sekarang. Di tempat itu, warga kota biasa berpelesiran sepanjang Heerenstraat dan tepi Kalimas Barat. Mereka yang berjalan-jalan akan melihat batas pal 1 di sekitar lokasi toko Maurice Wolf sekarang ini. Di dekat toko van Ingen sekarang, dulu ada kolam ikan mas; Kajoon dahulunya hanya sekedar wilayah bendungan sepanjang sungai. Cuma manusia soliter saja yang memiliki keberanian dan keyakinan terhadap masa depan yang membeli tanah di sekitar itu. Tidak lama kemudian orang menetap di Kajoon…karena harga tanah memang murah.

Stadstuin Surabaya. Di tempat ini warga kota biasa berekreasi atau menggelar acara-acara publik. Sumber: KITLV.
Stadstuin Surabaya. Di tempat ini warga kota biasa berekreasi atau menggelar acara-acara publik. Sumber: KITLV.

Saat itu, dan juga sekarang, ada persoalan yang menyibukkan benak para dokter. Dr. Schneider dan dr. Mens Fiers Smedding (ayah notaris terkemuka di Surabaya sekarang) membuat peta kota yang rumit. Mereka membuat rincian wilayah kampung demi kampung sesuai dengan tingkat kelayakan hunian dari sudut kesehatan. Tantangan buat mereka saat itu adalah bagaimana menjadikan wilayah-wilayah yang buruk dari segi kesehatan menjadi tempat yang layak huni.  Sesungguhnya ini menjadi tantangan serupa pada 1913 sekarang ini.

Memasuki tahun 1885 daerah Simpang mulai berkembang. Di sana-sini muncul hunian orang-orang Eropa. Upaya mempercantik kota pun dilakukan insinyur Hollingerus Pijpers. Ia menanami wilayah di sekitar Kajoon dengan pepohonan. Langkah itu dilanjutkan oleh Tuan Scheepmaker, pemilik firma De Zoete, yang menyarankan kepada Residen Kroesen untuk membangun sebuah taman kota. Nama mereka sekarang diabadikan menjadi Scheepmakerspark dan Kroesenpark.

Kota pun terus berkembang dan penduduk pribumi selalu jadi korban utama yang harus  tunduk pada kekuasaan uang. Mereka dipaksa pergi meninggalkan tempat tinggalnya. Raden Panji Tjokronegoro, ayah dari bupati Surabaya sekarang, mencoba mencari jalan keluar dengan membangun kampung-kampung baru. Ia menjalankan agenda pemindahan penduduk ke tempat baru di Kedong Doro dan Ketabang. Langkahnya dilakukan seiring rencana membangun jembatan yang memberi akses komunikasi dengan tepi kiri sungai.

Namun, tak pernah ada realisasi membangun sarana yang menghubungkan wilayah itu dengan tempat-tempat lainnya. Masih segar dalam ingatan kita betapa sulitnya memindahkan penduduk ke tempat itu. Persoalannya adalah lokasi itu terlalu jauh dari pusat kota tempat pabrik dan perkantoran yang menjadi sumber kehidupan mereka.

***

Sekarang masalahnya menjadi jauh lebih sulit. Ada tuntutan untuk segera memindahkan penduduk pribumi seiring berkembangnya transasi jual beli tanah di pusat kota Surabaya. Pertanyaannya pindah ke mana? Tak seorang pun bisa memberi jawaban memuaskan.

Pandangan umum menekankan bahwa perkembangan kota Surabaya harus bergerak ke arah selatan. Pusat kota pun sudah terlalu sempit. Sementara arah barat kota tempat Pasar Turi berlokasi, dianggap tidak layak dari sudut kesehatan. Di tempat itu ada banyak tambak tempat berkembang biaknya nyamuk anopheles yang menyebarkan malaria.

Pengembangan wilayah baru ke barat dengan demikian tidak mungkin dapat dilakukan.

Namun, apakah pertanyaan dan gagasan yang beredar—atau memang sengaja diabaikan—turut membahas arti penting perluasan dan perbaikan wilayah hunian penduduk pribumi dekat pusat kota?

Warga kota pribumi sendiri dengan senang hati bersedia dan sudah mengajukan permohonan membangun pemukiman di sekitar Pasar Turi. Pilihan itu tidak terlalu mengherankan. Pertama, mereka dapat tetap tinggal dekat pusat kota tempat mereka bekerja, dan sekaligus mengurangi beban ongkos transportasi. Kedua, keberadaan Mesjid Agung turut menjadi pertimbangan bagi warga pribumi yang beragama Islam. Selain itu, di lokasi dekat Pasar Turi terdapat kediaman bupati Surabaya yang sekaligus menjadi pusat aktivitas masyarakat pribumi. Ringkasnya, keingingan itu wajar saja: lokasinya dekat dengan pusat ibadat, dekat dengan pemimpin mereka dan juga tempat kerja.

***

Pada Agustus 1912, dalam nota yang dikirimnya ke Kementrian Tanah Jajahan, Van Ingen, sesepuh warga Eropa di Surabaya dan juga anggota Dewan Kota, menyampaikan arti penting dan sifat mendesak kebijakan terkait masalah hunian bagi penduduk pribumi di kota Surabaya. Menurutnya, pemerintah bisa segera mempersiapkan anggaran untuk membeli lahan-lahan kosong di bagian barat dekat Mesjid Agung. Sebagai warga kota yang berpengalaman, Van Ingen dan beberapa anggota dewan kota lainnya, dapat menyimpulkan dengan jernih pentingnya kebijakan membangun pemukiman penduduk pribumi di pusat kota.

Boleh jadi banyak orang mengatakan bahwa kondisi lahan di tempat itu tidak terlalu baik dan tidak layak dari segi kesehatan. Baiklah. Jawabannya: perbaiki saja tempat itu sehingga layak huni! Alasan bahwa tempat itu tidak layak huni dengan pertimbangan kesehatan benar-benar miskin imajinasi.

Memang. Di sana ada tambak dan tanah rawa yang selalu kekurangan air, yang menjadi sarang nyamuk dan penyakit malaria. Namun, beli saja lahan-lahan itu. Kita bisa menimbun wilayah itu dan membangun saluran dan sistem sanitasi di tempat itu. Dari sudut keilmuan, ini bukan pekerjaan mustahil. Juga bukan sebuah kebijakan yang sulit dilakukan.

Semua langkah ini jelas membutuhkan banyak uang. Sangat banyak bahkan. Tidak ada yang murah di dunia ini. Selain itu, biayanya sesungguhnya lebih murah dibanding harus membeli lahan-lahan baru di bagian Selatan.

Selain itu, pemerintah pun sudah pasti tidak akan menuai protes dari penduduk. Dengan demikian, kebijakan ini sangat mendesak untuk digulirkan. Pertama, dari sudut ekonomis, ia menjadi kebijakan yang lebih bijak dibanding sekedar memindahkan atau mengusir penduduk pribumi dari pemukiman lama tempat mereka tinggal. Kedua, dari segi politik pun masuk akal. Sejak lama penduduk pribumi memang menginginkan hal ini.

Sekarang ini kita tidak lagi hidup dalam era yang dengan seenaknya bisa mengusir penduduk begitu saja tanpa menimbulkan masalah yang muncul kemudian.

Sejak awal kita harus sadari, bahwa tindakan mengusir penduduk dari tempat tinggal lama mereka terus-menerus—tanpa harapan yang jelas tentang pemukiman baru yang mereka inginkan—hanya akan menumpuk perasaan ketidakadilan yang pahit di kalangan penduduk pribumi.

Kasus pembangunan kompleks Angkatan Laut di Podjok (sekitar Tanjung Perak—pen) dan akibatnya bagi penduduk setempat bisa menjadi pelajaran yang baik. Ada amarah terpendam yang mendalam di sana. Akibat pembangunan kompleks militer itu cukup jelas: orang mabuk-mabukan; pelecehan perempuan warga kampung; dan merajalelanya pelacuran.

***

Sekarang pembahasan masalah ini tengah menjadi pembicaraan antara residen, asisten-residen dan Tuan Van Ingen. Mereka sependapat bahwa langkah perbaikan harus segera dilakukan.

Terlebih lagi residen tidak lama lagi akan pindah. Jadi, pembahasan agenda ini harus segera tuntas dalam waktu dekat. Mempersiapkan lahan-lahan bagi perkampungan pribumi baru adalah sebuah pekerjaan berat bagi pemerintah. Semua harus dipersiapkan dengan matang dan dilakukan dengan sebaiknya.

Pemerintah kota juga seharusnya dapat menjalankan agenda ini sepenuh hati. Terlebih lagi dengan jarak yang lebar antara pemerintah kota dengan penduduk karena sebagian besar pekerjaan pembangunan dilakukan oleh birokrasi pemerintah pusat (Binnelands Bestuurs).

Terlepas dari siapa yang akan melakukannya, langkah intervensi harus segera dilakukan dalam waktu cepat. Kita sudah melihat akibat yang nyata melalui penurunan jumlah 7000 warga kota. Ini adalah peringatan keras bagi kita semua. Bukan suatu yang mustahil bila dalam waktu dekat nanti kita akan menyaksikan ribuan orang lagi diusir dari tempat tinggal lama mereka.

Pertanyaannya adalah apakah pemerintah akan segera membangun lingkungan pemukiman baru di pusat kota? Atau apakah mereka akan sekedar membangun sistem sanitasi baru di bagian barat Mesjid dan Pasar Turi? Dugaan kita sepertinya langkah terakhir yang akan dilakukan pemerintah.

 

 

One thought on “Surabaya dan Penduduknya”

  1. Menarik sekali. Saya sampai sekarang masih penasaran letak lonceng kota yang katanya di Stadstuin. Apa sekarang masih ada di sana? Stadstuin sekarang ada di kawasan mana?

    Like

Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s