Eric Foner adalah Professor De Witt Clinton di Universitas Columbia dan salah seorang sejarawan terkemuka Amerika Serikat. Salah satu karyanya, The Fiery Trial: Abraham Lincoln and American Slavery meraih penghargaan Bancroft Prize dan Pulitzer Prize 2010 dalam bidang sejarah di Amerika. Selain mengajar, Foner menjadi presiden tiga organisasi sejarawan di Amerika, yaitu Organization of American Historians, American Historical Association dan Society of American Historians. Tulisan ini diterjemahkan dari esainya berjudul “Rethinking American History in a post-9/11 World” dalam http://www.ericfoner.com/articles atas seizin penulis.
Tahun 1948. Perang Dunia II baru saja berakhir. Tidak lama kemudian, Roy F. Nichols, sejarawan ahli Perang Saudara di Amerika, menulis esai pendek membahas pengaruh perang itu terhadap generasi sejarawan Amerika, termasuk pengaruhnya terhadap orientasi studi sejarah. Setengah meramal, Nichols menyatakan bahwa PD II menjadi dasar “reorientasi (baru) pemikiran sejarah” Amerika. “Setiap guncangan besar dalam dunia tindakan dan intelek,” tulis Nichols, “senantiasa berpengaruh terhadap metode dan pola pikir sejarawan. Begitu juga dengan perang yang baru usai.”
Meski pengaruhnya belum sebanding dengan PD II, 11 September telah menjadi “guncangan” besar dalam kehidupan kita. Peristiwa itu memaksa kita berpikir ulang cara belajar dan mengajar sejarah negeri ini. Tidak dapat disangkal, adagium bahwa sejarah yang ditulis adalah sejarah masa kini mendapatkan kebenarannya. Peristiwa itu mau tak mau memaksa kita memeriksa ulang catatan sejarah sepanjang empat dekade terakhir untuk memahami apa yang terjadi pada masa kini. Pengalaman kontemporer kita adalah panggung kehidupan yang mendorong lahirnya perhatian baru terhadap masalah lama yang sebelumnya terbaikan.
Sebagai ilustrasi kita bisa melihatnya dalam pengalaman kemunculan “gelombang kedua” feminisme di dunia. Di Amerika Serikat, gelombang itu menelurkan minat baru terhadap studi sejarah perempuan. Begitu juga dengan Revolusi Reagan yang melahirkan inspirasi tentang industri kecil berkait konservativisme negeri ini. Segala peristiwa masa kini terus memberi horison baru cara memandang sejarah. Selalu ada sosok dan karakter baru membentuk panggung sejarah manusia. Sayangnya, kepak burung hantu Minerva baru membentang menjelang fajar. Sejarawan baru datang belakangan menangkap kebajikan dibalik peristiwa yang telah terjadi.
Esai Nichol memberi petunjuk penting. Kita yang berkutat dengan kekisruhan pada masa kini selalu terlambat meramalkan bagaimana masa kini membentuk pandangan masa lalu. Nichols telah mengantisipasi kegamangan dan rasa tidak pasti yang membentuk “jiwa Amerika” pasca PD II, lengkap dengan pedang nuklir Demokles yang menjadi mimpi buruk umat manusia. Ia meyakini bahwa setelah perang usia, jejaknya akan terus membawa sejarawan Amerika menanggalkan “optimisme” tradisional mereka ke dalam “kegamangan mencemaskan.” Namun yang terjadi sebaliknya. Saat Perang Dingin mendominasi lanskap pemikiran dan budaya Amerika, sejarawan Amerika malah mengusung “eksepsionalisme” Amerika. Ketimpangan dan konflik sosial yang lekat dengan sejarah Amerika dibuang dalam tong sampah sejarah.
Boleh jadi kita belum merasa yakin bagaimana persoalan-persoalan baru setelah peristiwa 11 September memberi pengaruh terhadap sejarawan Amerika. Cetak biru itu justru muncul dari luar lingkungan akademis lewat serangkaian pernyataan politisi konservatif. Belum sebulan setelah tragedi 11 September, Lynne Cheney, istri Wakil Presiden dan mantan ketua National Endowment for the Humanities (sebuah badan yang memberi beasiswa di bidang studi humaniora di Amerika) menyatakan dukungannya mengembangkan studi ke berbagai penjuru dunia mencari penyebab “kegagalan (Amerika) memahami Islam” yang berujung pada pemboman World Trade Center dan Pentagon. American Council of Trustees and Alumni, lembaga Lynne Chenney sebelumnya, menyebarkan surat mengecam para professor di perguruan tinggi Amerika yang menolak mengajarkan bahwa “Barat (yang sudah tentu Amerika) mewakili “roh kebenaran” sejarah dunia.
Dinesh D’Souza ikut meramaikan gegap-gempita ini. Bukunya What’s So Great About America (perhatikan bagaimana ia lupa mencantumkan tanda tanya dalam judulnya) menggiring orang-orang Amerika meyakini bahwa kebebasan dan toleransi agama adalah produk khas “Barat”. Bagi D’Souza, satu-satunya alasan mempelajari masyarakat dunia lain di muka bumi ini adalah menunjukkan superioritas Amerika. Iklan buku itu bahkan menyatakan bahwa setiap orang yang berbeda dengannya adalah “orang yang turut mendukung terorisme.” Seorang penulis lain, William Bennet, menyatakan dalam bukunya berjudul Why We Fight, bahwa siapa pun yang berbeda pendapat dengannya hanya “menuai badai kebingungan” dan “melemahkan negeri ini.”
11 September pada akhirnya menjadi pelajaran berharga bagi kita semua. Pelajaran itu seharusnya berlangsung dalam ruang terbuka, bukan dalam ruang tertutup dengan kerumunan yang menyesakkan nafas seperti ini. Sudah pasti kita semua memiliki tanggung jawab intelektual dalam hal ini. Tanggung jawab itu berlaku bagi kita, dan juga murid-murid kita semua. Di sini saya sekali lagi ingin menggarisbawahi satu keyakinan pribadi. Memberi penjelasan sejarah terhadap persoalan yang terjadi bukan berarti mengamini pembunuhan. Bersikap kritis terhadap pandangan umum pasca 11 September juga bukan sebuah pengkhianatan. Membuat analisa tentang kekejaman yang jahat bukan berarti kita adalah bagian dari kejahatan itu.
***
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman, mengatakan ada tiga jenis sejarah. Masing-masing adalah sejarah monumental, antikuarian dan kritikal. Sorak-sorai kerumunan terkait 11 September menegaskan apa yang dikatakan Nietzsche sebagai sejarah Monumental. Orang larut dalam gegap-gempita kerumunan itu. Ada kisah panjang yang membentuk hal ini. Sejarah memang selalu menjadi bahan mentah menggodok sentimen-sentimen nasionalistik dan patriotik di setiap negeri. Dalam pengalaman Amerika Serikat, seruan seperti ini berjalan seiring momen nation-building (dalam paruh pertama abad sembilan belas) saat terjadi perpecahan nasional (sepanjang dua dekade berbeda antara 1890an dan 1990an ketika gelombang imigrasi massal dan budaya yang terbelah melanda Amerika) dalam periode perang. Pada Perang Dunia I, sarjana-sarjana terkemuka Amerika menerbitkan pamflet menjelaskan “prinsip umum” yang pernah disuarakan Jean Jaqcues Rousseau, Oliver-Cromwell, dan Thomas Jefferson. Gambaran ini lahir dari aliansi Prancis-Inggris-Amerika sepanjang perang tersebut.
Memasuki Perang Dingin, sejarawan-sejarawan terkemuka membuat gaung kerumunan baru yang mengatakan seolah-olah beragam problem sosial di Amerika telah berakhir. Sekarang adalah “akhir ideologi” dan kemenangan “konsesus” liberal sebagai nilai kehidupan Amerika. Sudah barang tentu para pengacau dan kaum fanatik tidak masuk dalam daftar ini. Jurnalisme yang baik memberi jaminan bagi kita mencari jalan keluar terhadap masalah yang muncul, tulis Walter Lipman (tokoh jurnalisme Amerika, pen). Prinsip sama berlaku apabila kita berpikir tentang sejarah. Sejarawan masa lalu memberi kita pijakan melihat sejarah masa lalu bagi kita sekarang masa kini. “Konsesus” Amerika dekade 1950an menjadi contoh yang baik.
Penyebab anak didik kita di sekolah menengah kesulitan membuat penalaran tentang periode itu bukan karena persoalan materi sejarah yang terbatas, tetapi karena mereka gagap memahami realitas Amerika dalam kehidupannya sekarang. Segala sesuatu seakan muncul begitu saja. Tiba-tiba ada gelombang gerakan hak sipil, perpecahan tajam dalam politik nasional tentang Vietnam, Watergate. Semua hadir tanpa asal-usul yang jelas. Inilah yang saya maksud dengan sifat puas diri dan gegap gempita penulisan sejarah pasca 9/11. Kita memiliki sejarah tanpa kemampuan melihat kedalaman kompleksitas persoalan.
Sejarah seperti ini jelas tidak mampu membawa anak didik kita memahami dunia masa kini yang terjalin erat satu sama lainnya. Tidak ada kerangka pemahaman sejarah yang dapat menyingkirkan lagak sombong superioritas Amerika. Kita pun kekurangan daya meluaskan kesadaran orang Amerika tentang gambaran kehidupan masyarakat lain di dunia. Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa kebanggaan anak-anak muda Amerika tentang prestasi bangsanya sebagai hal keliru. Mengikuti Lipman, saya kira jurnalis atau sejarawan memiliki arti penting untuk tidak tenggelam dalam kerumunan yang bangga dengan kutukan sejarah itu. Tugas paling sederhana adalah sedikit memberikan cahaya terhadap bayangan kusam kebanggaan terhadap diri sendiri orang Amerika sekarang.
***
11 September meninggalkan banyak jejak. Ia melahirkan beberapa isu penting bagi agenda kesejarahan kita. Izinkan saya menjelaskan dengan singkat tiga persoalan penting tentang ini dan pengaruhnya terhadap cara kita berpikir tentang sejarah Amerika. Pertama adalah peneguhan kembali ide kebebasan masyarakat Amerika sebagai pembenaran menggalang perang melawan terorisme dan membenarkan invasi ke Irak. Kedua adalah penerimaan luas pembatasan hak-hak sipil. Ketiga adalah sikap serba curiga masyarakat di belahan dunia lain terhadap segala sepak terjang dan motif Amerika di dunia.
Memberi konteks sejarah adalah cara terbaik mengusir segala “kegamangan” itu. Sejarah menjadi cara menyodorkan pemahaman bahwa segala sesuatu memiliki latar sejarah yang unik. “Kebebasan” adalah kata keramat yang dianggap lekat dengan Amerika. Kata itu muncul ke permukaan dalam setiap momen krisis yang menerpa sejarahnya. Pada setiap momen itu, ide baru lahir mempertanyakan bagaimana sesungguhnya wujud kebebasan itu? Mengapa kata itu layak diperjuangkan? Siapa yang berhak menikmatinya?
Saya memiliki kesan banyak komentator masih gamang terhadap kenyataan betapa cepatnya 11 September menjadi dalih tunggal melatari serangan terhadap menara kembar New York dan sekaligus semboyan perang melawan “terorisme.” “Kebebasan dalam ancaman,” begitu isi pidato presiden Bush di depan Kongres Amerika pada 21 September. Bush memberi nama untuk aksi perang di Afghanistan: Enduring Freedom. “Musuh-musuh Amerika,” lanjutnya, “membenci kebebasan kita, kebebasan agama, berbicara, berkumpul dan berbeda pendapat.” Setahun kemudian, seiring meningkatnya perhatian terhadap pengajaran sejarah Amerika di sekolah-sekolah dasar agar murid sekolah di Amerika memahami alasan “mengapa kita mesti berperang,” Bush menggarisbawahi, “[sejarah] kita adalah sejarah tentang kebebasan …kebebasan dari siapapun.”
Tahun 2002 Dewan Keamanan Nasional mengeluarkan dokumen Strategi Keamanan Nasional yang menegaskan doktrin perang pre-emptive. Ada catatan menarik dalam dokumen itu. Dokumen itu tidak memulai pembahasannya tentang situasi politik global, tetapi dimulai dengan pendahuluan tentang definisi kebebasan Amerika sebagai “demokrasi politik, kebebasan berekspresi, toleransi beragama, dan ekonomi pasar bebas.” Semuanya “merupakan kebenaran mutlak bagi setiap orang di muka bumi ini.”
Sama sekali tidak ada sedikitpun sikap mawas diri dalam dokumen itu bahwa konstelasi nilai-nilai yang diusung dalam pernyataan tersebut adalah produk pengalaman sejarah yang spesifik (Amerika, pen). Bahkan ia tak membayangkan sama sekali keberadaan orang lain yang memiliki pemikiran serius tentang kebebasan dengan kesimpulan yang berbeda. Invasi ke Irak disebut Operasi Pembebasan Irak. Pada April 2004, ketika menjelaskan perlawanan yang terus muncul terhadap pendudukan Amerika di Irak, presiden Bush menyatakan: “Kita mencintai Kebebasan dan mereka membencinya— begitulah peperangan dilakukan.” “Kebebasan”, Bush menambahkan, bukan sekedar gagasan Amerika; “Ia adalah berkah Tuhan untuk dunia.”
***
Bukan hal ganjil kata kebebasan menjadi semboyan perjuangan Amerika. Atau bahkan menjadi pegangan pembuat kebijakan yang meyakini mereka sedang menjalankan kehendak Tuhan di dunia ini. Revolusi Amerika melahirkan nilai kebangsaan Amerika dengan misi nasional yang terus bertahan hingga kini: Amerika adalah bangsa baru yang menjadi perwujudan unik kebebasan di dunia yang penuh penindasan. Perang Saudara dan gerakan emansipasi menguatkan identifikasi Amerika Serikat dengan cita-cita kebebasan itu. Memasuki abad kedua puluh, wacana politik dunia terbelah tajam dalam dua kubu bertentangan. Satu pihak membuat klaim mewakili kebebasan. Pihak lain sebagai antitesanya. Perjuangan skala global melawan Nazisme dan Komunisme menjadi semboyan perjuangan itu. Pandangan tentang posisi unik Amerika sebagai teladan dunia dengan menunjukkan superioritas lembaga-lembaga kebebasan yang dimilikinya terus hidup menjadi unsur utama budaya politik kita.
Dalam buku The Story of American Freedom yang terbit tahun 1998, saya pernah mengungkapkan bahwa kelompok-kelompok abolisionis (mereka yang mendukung penghapusan perbudakan di Amerika, pen) sampai kalangan konservatif modern masa kini menyadari bahwa memegang “kendali” makna kebebasan sama dengan mendapatkan posisi kuat dalam pertarungan politik. Kebebasan adalah kartu truf dalam politik. Ia digunakan sesering mungkin untuk membungkam perdebatan dan meruntuhkan lawan. Inflasi kata kebebasan pada akhirnya menuntut kita melengkapi benak pemahaman siswa Amerika bahwa ada beragam makna kebebasan, dan beragam cara penggunaannya sepanjang sejarah. Kita perlu mengajarkan bahwa kata kebebasan adalah “formula kekuasaan” (seperti sekarang ini) dan juga “formula perlawanan,” meminjam istilah ilmuwan politik Nikolas Rose.
Generasi terdahulu Amerika cenderung memandang makna dominan kebebasan yang berpusar di sekitar gagasan demokrasi politik, pasar bebas, pajak rendah, pembatasan kekuasaan pemerintahan, dan kuasa individu terhadap segala urusan pribadi mulai cara berpakaian, kesenangan sampai orientasi seksual mereka. Definisi-definisi tersebut menjadi sesuatu yang melekat dalam sosok Amerika dan dianggap berlaku universal. Sesungguhnya definisi tentang kebebasan dan siapa saja yang berhak menikmatinya terus berubah sepanjang waktu. Ia bukan sebuah kategori baku yang kita warisi dari pendiri bangsa tanpa perubahan. Konsep dan arti kebebasan selalu berkembang. Ia memiliki arti dengan seribu wajah dan diperdebatkan tanpa henti.
Keragaman makna kebebasan dalam sejarah membuatnya tidak dapat dilepaskan dari cerita tentang orang-orang dan kelompok yang dicabut hak kebebasannya dengan beragam alasan. Juga dalam membahas bagaimana sebagian orang Amerika masa kini menikmati kebebasan lebih besar dibanding lainnya. Apresiasi mendalam terhadap kebebasan juga tidak bisa melepaskannya dari pertarungan sengit yang membuat maknanya terus berubah. Hal ini ditunjukkan melalui perjuangan kelompok minoritas rasial, perempuan, dan lainnya untuk mendapat kebebasan seperti mereka yakini.
Ada beberapa contoh lain yang bisa kita pelajari. Kebebasan sebagai gagasan modern yang melekat bagi setiap orang Amerika tanpa memandang perbedaan ras, bergulir dari perjuangan kaum abolisionis dan kaum budak yang meyakini kebebasan sebagai ide asasi manusia. Konsep ini berbeda dengan pandangan pendiri bangsa yang memandang kebebasan bersifat universal, tetapi pada saat sama mendirikan negara Republik dengan perbudakan di dalamnya. Perluasan makna modern tentang kebebasan juga muncul dalam perjuangan kaum feminis yang mengusung ide bahwa kebebasan juga berlaku dalam hubungan personal yang intim.
***
Jika sekarang kita bertanya kepada orang awam, perempuan atau lelaki di jalanan, tentang definisi kebebasan Amerika, maka jawaban yang mungkin didapat adalah gagasan-gagasan yang tercantum dalam Bill of Rights: kebebasan berekspresi, press dan lainnya. Gelombang pasang patriotisme Amerika masa kini semakin membuat dangkal batasan tajam definisi antara orang-orang Amerika “loyal” dan orang-orang asing atau pengkhianat. Dalam kaitan ini “perang melawan terorisme”, seperti terjadi pada setiap masa perang, menimbulkan masalah baru yang pelik berkait dengan persoalan kebebasan sipil di Amerika. Ia menjadi masalah bagi orang-orang yang dianggap bukan warga negara dan etnis yang perlu mendapat perlindungan hak-hak kebebasan Amerika. Setelah 11 September, kita dengan mudah dapat menyebut sejumlah pelanggaran terhadap kebebasan sipil. Kita bisa melihat pelanggaran perlindungan hukum melalui pengadilan independen oleh juri, atau Habeas Corpus, hak didampingi penasehat hukum, persamaan di depan hukum terlepas perbedaan ras dan asal-usul nasional. Semua dicampakkan begitu saja.
Tidak lama setelah tragedi 11 September terjadi, sekitar 5000 keturunan Timur-Tengah diawasi ketat. Lebih 1500 orang ditangkap dan ditahan dalam waktu panjang tanpa tuduhan jelas. Semua dilakukan diam-diam, tanpa sepengetahuan publik. Sampai sekarang, tak seorang pun didakwa dalam keterlibatan dengan peristiwa 11 September (Zaccarias Moussauoi, yang dituduh sebagai pembajak kedua puluh, sejak awal sudah mendekam dalam tahanan). Melalui keputusan presiden, ada otorisasi pengadilan militer rahasia terhadap warga asing yang dianggap mendukung terorisme. Departemen Kehakiman menyatakan di pengadilan bahkan warga negara Amerika pun dapat ditahan tanpa batas, tanpa penasehat hukum, apabila pemerintah menyatakannya sebagai “musuh perang.”
Hal “mengejutkan” setelah peristiwa 11 September adalah bagaimana mayoritas orang Amerika menerima begitu saja kekangan terhadap kebebasan yang diperjuangkan sejak lama. Apalagi jika kekangan itu diterapkan terhadap sebagian warga dengan latar belakang etnis tertentu. Rasa “terkejut” ini pun perlu dipahami dalam konteks sejarahnya. Ada kenyataan bahwa sepanjang sejarah, perlindungan terhadap kebebasan sipil bukan gambaran abadi “peradaban” Amerika. Ia lebih merupakan capaian historis yang terus berubah. Kebebasan sipil bukan prinsip yang tegak dengan sendirinya. Dalam setiap masa krisis, harga kebebasan menjadi persoalan abadi yang harus diawasi dengan cermat.
Amerika memang memiliki tradisi panjang dengan perdebatan dan pertentangan politik yang keras. Ini bagian penting tradisi demokratis Amerika. Dalam kenyataan, sampai abad dua puluh ini perlindungan sosial dan legal terhadap kebebasan ekspresi masih saja bermasalah. Retorika orang-orang yang menyatakan berkomitmen memperjuangkan cita-cita kebebasan, berjalan seiring dengan batasan-batasan penyampaian pidato yang dianggap terlalu radikal dan mengundang keresahan. Aktivis buruh, sosialis, penganjur KB, juru kampanye persamaan rasial dan lainnya menghadapi kendala legal dan ekstra-legal untuk menyatakan pandangan, mengadakan rapat, mogok, dan membagikan bacaan.
Baru sekitar akhir 1930an gerakan kebebasan sipil mendapatkan tempat dalam definisi liberal tentang kebebasan. Namun mereka harus menunggu sampai tahun 1960an ketika jurisprudensi modern kebebasan sipil menjadi produk hukum. Ringkasnya, persamaan di depan hukum tanpa memandang perbedaan ras sebenarnya merupakan prinsip baru dalam kehidupan orang Amerika. Dalam catatan sejarah kita, orang-orang Asia dihalangi menjadi warga negara. Orang-orang kulit hitam dijauhkan dari hak-hak dasar seperti orang Amerika kulit putih lainnya. Baru pada tahun-tahun terakhir ini saja pernyataan yang menyinggung soal etnis dan ras oleh pejabat publik dianggap tidak layak—sebuah posisi yang nampaknya berjalan dalam arus balik pasca 11 September.
Kekangan terhadap kebebasan sipil terjadi dalam momen-momen krisis sejak lahirnya Alien and Sedition Acts 1798 sampai pemenjaraan dan deportasi aktivis sosialis, pemimpin buruh, kritikus keterlibatan Amerika selama dan setelah Perang Dunia I di abad dua puluh. Belum lagi pemasungan penjara puluhan ribu keturunan peranakan Jepang-Amerika—sebagian besar adalah warga negara Amerika—selama PD II dan di bawah gelombang McChartyisme selama Perang Dingin. Sejarawan umumnya memandang episode-episode masa lalu itu sebagai anomali memalukan. Sesungguhnya kita sekarang hidup dalam situasi yang hampir sama. Sayangnya, tidak ada kemarahan publik dalam hal ini.
Meski Mahkamah Agung menggugurkan wewenang pemerintah menangkap dan memenjarakan setiap orang tanpa tuduhan jelas, sejarah menunjukkan langkah itu senantiasa terlambat. Dalam kasus Milligan, yaitu pengadilan militer terhadap penduduk sipil pada masa perang, pengadilan mengeluarkan opini bahwa persoalannya bukan berarti perang mengakibatkan pengabaian prinsip-prinsip dalam konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi “menjadi hukum yang berlaku bagi penguasa dan rakyat, dan berlaku pada masa perang.” Namun ini merupakan ide baru yang lahir pada 1866 setelah krisis berlalu.
Ini juga sekaligus mengingatkan kita pada tindakan pengadilan membatasi hak bersuara sepanjang PD I. Pandangan hukum yang menegakkan kembali prinsip kebebasan bersuara baru terjadi pada dekade 1920an. Kita bisa melihat lagi sejarah gelap yang layak menjadi pelajaran di ruang kelas pada kasus Fong Yue Ting (1893), Insular Cases pada awal abad dua puluh. Juga kasus Korematsu pada masa PD II. Dalam rangkaian kasus itu, pengadilan mengizinkan pemerintah menggunakan blanko kosong saat berurusan dengan orang-orang asing.
Pemerintah memiliki wewenang mengabaikan hak-hak kelompok warga tertentu dengan alasan militer. Opini hukum berbeda (dissent) dalam kasus-kasus tersebut layak kita perhatikan. Dalam kasus Fong Yue Ting, yang mengijinkan deportasi imigran Cina tanpa proses hukum, Hakim Brewer mengingatkan bahwa kesewenangan kekuasaan tengah dihujamkan kepada seseorang. Banyak orang Amerika menganggapnya sebagai keputusan “mengecewakan.” Namun, “siapa yang bisa menjamin bila kekuasaan itu tidak lagi diterapkan pada orang dan kelompok masyarakat lainnya di masa depan?” Dalam kasus Korematsu, yang membenarkan pemenjaraan orang-orang keturunan Jepang, Hakim Robert Jackson menulis bahwa keputusan itu sebagai “kebohongan yang memberi senjata siap kokang bagi penguasa diluar kebutuhannya.”
Sejarah ini menunjukkan bahwa tidak ada resep sederhana menjaga keseimbangan antara kebebasan dan keamanan. Selalu ada gangguan terhadap kebebasan. Hak melontarkan kritik terhadap pemerintahan, persamaan di depan hukum, dan perlindungan hukum terhadap kekuasaan negara polisi tanpa batas, bukan merupakan langkah yang bergerak maju tanpa gangguan. Perbaikan terhadap kesalahan itu selalu menunggu waktu yang lama. Dan kemenangan pun seringkali bersifat sementara. Kemunduran selalu menyertai gerak kemajuan. Seperti dicatat seorang pendukung abolisionis, Thomas Wentworth Higginson, pada akhir Perang Saudara, “kaum revolusioner berjalan mundur.”
Pembatasan terhadap kebebasan sipil pada masa kini memang tidak dapat dibandingkan dengan penindasan masif terhadap perbedaan pandangan mengenai Perang Dunia I atau pemenjaraan peranakan Jepang-Amerika. Sayangnya, peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan menunjukan perubahan signifikan dalam kebijakan publik setelah selama beberapa dekade kita menikmati perluasan kebebasan.
11 September tidak dapat disangkal mengharuskan sejarawan Amerika mempelajari lebih dalam sejarah hubungan negerinya dengan dunia luas. Kita harus terus-menerus diingatkan bahwa dunia yang kita huni menjadi semakin sempit dan terintegrasi. Bangsa-bangsa yang sebelumnya berdiri sendiri sekarang semakin terkait erat dalam jaringan kompleks hubungan ekonomi dan budaya. Istilah singkat yang populer tentang ini adalah globalisasi.
Kesadaran kita tentang globalisasi—meskipun istilah itu semakin dibatasi definisinya—harus dapat menantang sejarawan Amerika menyadari bahwa masa lalu kita, seperti juga masa kini, senantiasa berada dalam lingkup sejarah yang lebih luas dibanding sekedar sejarah kita sendiri. Bentuk-bentuk lembaga, proses dan nilai yang membentuk sejarah Amerika—dari kapitalisme sampai demokrasi politik, perbudakan, dan budaya konsumerisme—muncul dari proses global dan hanya dapat dimengerti dalam konteks global tersebut. Sesungguhnya ini bukan gagasan baru. Sebelum tahun 1930an, Herbert E. Bolton telah mengingatkan bahwa dengan memperlakukan sejarah Amerika dalam isolasi pembenaran dirinya sendiri, sejarawan Amerika membantu tumbuhnya “bangsa chauvinis” di dunia—sebuah bahaya yang layak diingat ketika kita menulis semboyan patriotik di Amerika.
***
Satu setengah tahun sebelum 11 September, dalam pidato sebagai ketua Asosiasi Sejarawan Amerika, saya menyerukan kepada para sejarawan untuk meninggalkan sifat “provinsial” dalam studi sejarah Amerika. Internasionalisasi sejarah kita bagaimanapun bukan berarti mencampakkan atau membuat adonan pengalaman sejarah khusus Amerika Serikat. Dinamika politik internasional berkerja dengan cara berbeda di setiap negeri. Dalam upaya internasionalisasi penulisan sejarah Amerika, kita harus tetap berhati-hati untuk tidak menciptakan kembali eksepsionalisme Amerika dalam skala global—seperti pernyataan yang menyamakan “peradaban” dengan “Barat”, dan “Barat” dengan Amerika. Dalam hal ini 11 September memberi godaan besar. Kita mendengarnya lewat komentar-komentar yang menghidupkan kembali gaung Samuel P. Huttington, The Clash of Civilizations. Menjelaskan 11 September sebagai benturan peradaban Barat dan Islam adalah produk pemikiran yang dangkal (dan justru mengingatkan kita pada apa yang diinginkan Osama bin Laden).
Konsep “benturan peradaban” merupakan ide yang monolitik, statik dan esensialis. Ia mereduksi politik dan budaya dalam satu atribut tunggal—ras, agama atau geografi yang tak berubah dan tanpa singgungan dengan perkembangan sejarah. Ia menolak kenyataan pertukaran gagasan dalam skala global dan saling pengaruh kebudayaan yang menjadi ciri utama dunia modern. Gagasan itu juga mengabaikan kemungkinan saling berbagi pembentukan peradaban itu. Sebagai contoh, konstruksi tentang “Islam”, membungkus secara kasar hampir satu milyar orang di dunia dalam satu “peradaban” tunggal. Ini mempersulit penafsiran mengapa Iran dan Irak pada akhirnya saling berperang.
Gagasan bahwa Barat memiliki akses ekslusif kepada nalar, kebebasan, dan toleransi sesungguhnya mengabaikan kenyataan bahwa semua itu merupakan kemenangan nilai-nilai baru di Barat. Perdebatan tentang hak aborsi, dan isu lainnya juga menegaskan bahwa penerimaan terhadap gagasan itu tidak mutlak. Para pembela superioritas peradaban Barat gagal memahami bahwa tradisi Barat dalam imajinasi mereka bersifat selektif—mereka mengambil Pencerahan tetapi melupakan Inkuisisi, mengagungkan liberalisme pada saat sama melupakan holocaust, memilih Charles Darwin dan melupakan pengadilan Penyihir Salem. Kemampuan membuat garis perbedaan antara peradaban sebagai suatu yang tidak berubah dengan kemampuan menganalisa perubahan di dalamnya, termasuk interaksi antara berbagai masyarakat, adalah sebuah perbedaan antara berpikir mitos dan berpikir historis. Memang benar beragam gagasan tentang kebebasan yang kita kenal tidak didapatkan dalam nilai dan norma mayoritas Muslim. Tetapi sama seperti yang lain, teror memiliki sejarahnya sendiri.
Menjelaskan terorisme sebagai wujud tak terhindarkan patologi peradaban Islam mengabaikan fakta bahwa banyak masyarakat, termasuk masyarakat kita, memelihara terorisme. Ku Klux Klan selama periode Rekonstruksi telah membunuh lebih banyak orang Amerika tak berdosa dibanding Osama bin Laden. Dalam dua dekade awal abad dua puluh, orang-orang Amerika mengalami gelombang serangan teroris dan bom—pembunuhan Presiden McKinley oleh kelompok anarkis tahun 1901, ledakan di gedung Los Angeles Times yang membunuh dua puluh orang, pemboman Wall Street tahun 1920 yang menewaskan tiga puluh delapan orang. Dalam kasus pemboman Oklahoma City tahun 1995 dan sirkulasi anthrax melalui surat pos yang awalnya dianggap perbuatan orang asing ternyata terbukti buatan kita sendiri.
Persoalannya di sini bukan berarti kita menolak tragedi skala serangan besar 11 September, atau mencampakkan capaian-capaian Amerika dan masyarakat Barat. Pokok terpenting adalah memahami bahwa terorisme lahir dari sebab sejarah yang spesifik. Ia dapat muncul di mana saja dan kapan saja. Memahami akar-akarnya memerlukan analisis sejarah yang mendalam. Ironisnya, 11 September menunjukkan bukan saja kerentanan, tetapi juga kekuasaan besar kita.
Sejak Romawi Kuno, tidak pernah ada satu negara menjulang di antara lainnya. Dalam ukuran indeks kekuasaan dunia—baik dalam ukuran militer, ekonomi, budaya dan ilmu pengetahuan ilmiah—Amerika Serikat melampui semua negara di dunia. Ukurannya mencapai sepertiga produk bruto dunia. Belanja militernya mencakup 36 persen belanja militer dunia (melebihi gabungan kekuatan militer lainnya) dan 40 persen pengeluaran penelitian ilmiah. Tidak mengherankan bila dalam kondisi ini banyak orang Amerika merasa negeri mereka mempunya hak mengatur prilaku internasional negara lainnya. Namun, pada saat sama kita menerapkan aturan yang hanya berlaku untuk diri sendiri. Pada era 11 September, kata “empire” dengan memalukan muncul dalam wacana politik Amerika. Kebutuhan memikul beban empirium menjadi tema dikusi di kalangan elite pembuat kebijakan luar negeri, dan buku-buku kacangan. Bahkan “imperialisme”, yang merupakan kata kotor sepanjang sejarah, menjadi percakapan umum di Amerika sekarang ini. Seperti respon lainnya terhadap 11 September, gagasan Amerika sebagai imperium memiliki sejarah panjang. Ia berkait dengan keyakinan bahwa negeri ini—melalui keteladanan atau kekuatan, atau kombinasi keduanya—mampu dan sudah seharusnya membentuk dunia global sesuai citra dirinya.
Jefferson berbicara tentang Amerika Serikat sebagai “imperium kebebasan.” Ketika negeri ini tampil dalam panggung dunia sebagai kekuatan imperial dalam Perang Spanyol-Amerika, presiden McKinley menegaskan bahwa kita adalah kekuatan “imperialisme yang baik hati,” dan pemerintahan kita di Filipina selayaknya tidak dapat dibandingkan dengan penundukan teritorial bangsa-bangsa Eropa. Wodrow Wilson menegaskan bahwa hanya Amerika Serikat yang memiliki kombinasi kekuatan militer dan kebenaran moral untuk membuat dunia lebih aman bagi demokrasi. Pada 1942, Henry Luce, penerbit majalah Time dan Life, menyebut Amerika Serikat yang harus menjalankan peran “kekuatan dominan dunia” dalam apa yang disebutnya sebagai “Abad Amerika.”
***
Sejarah gagasan dan praktek tentang imperium mungkin membantu orang Amerika memahami mengapa negeri lain seringkali menolak kecenderungan kita mengejar kepentingan diri sebagai kekuatan dunia sambil menyatakan mewakili tujuan dan nilai-nilai universal. Hasil Survey Gallup terbaru mengungkapkan bahwa hanya sedikit orang-orang Amerika memiliki pengetahuan tentang keluhan negara-negara lain terhadap Amerika. Sifat murah hati dari imperialisme murah hati hanya ada dalam benak pelakunya sendiri. Orang-orang Indian dan Meksiko tidak ingin menyerahkan tanah mereka kepada gerak maju imperium kebebasan Jefferson. Banyak orang Filipina juga tidak sepakat dengan penilaian McKinley bahwa mereka akan hidup lebih baik dibawah kekuasaan Amerika dibanding menjadi negeri merdeka.
Ringkasnya, studi tentang sejarah hubungan kita dengan dunia lain mungkin akan memberikan kita kemampuan untuk tidak lagi terkejut dengan banyak hal. Disamping gelombang simpati yang mengalir dari penjuru dunia terhadap Amerika Serikat setelah 11 September, kita perlu menyadari bahwa di luar batas negara kita, termasuk di antara sekutu lama di Eropa, banyak yang memandang perang melawan terorisme bukan lagi motivasi menegakkan Pax Amerikana dalam dunia yang semakin timpang. Situasi-situasi lokal dan motif yang kompleks di seluruh dunia tidak dapat dengan gampang disebut dalam dikotomi tunggal antara teman dan musuh kebebasan, atau teroris dan lawannya.
Pada saat separuh departemen sejarah di negeri ini tidak memiliki pengajar yang mampu mengajar sejarah Timur Tengah, maka layak diingat bahwa perasaan anti-Amerika di sebagian dunia adalah fenomena baru, bukan kebencian yang tertanam sejak lahir. Kebencian itu tidak hanya terbatas pada kalangan fundamentalis Islam, tetapi juga dapat ditemukan di kalangan nasionalis sekuler dan reformis demokratis. Semuanya bersumber pada kebijakan-kebijakan Amerika terhadap Israel, Palestina, suplai minyak, rejim-rejim korup dan otoriter, dan lebih baru lagi, Irak. Ini semua bukan sekedar kebebasan Amerika, tetapi kekuasan Amerika dan prakteknya, yang membangkitkan rasa curiga internasional.
Di puncak Perang Dingin, dalam survey cerdas dan brilian tentang pemikiran politik Amerika, The Liberal Tradition in America, Louis Hartz mengamati bahwa disamping ekspansi mendalam ke seluruh dunia, Amerika Serikat secara intelektual pada dasarnya semakin terisolasi dari budaya lainnya. Beberapa tahun lalu, seorang sejarawan terkemuka, Daniel Rodgers, membandingkan era Progresif, ketika para reformis Amerika memandang sinis terhadap Eropa yang menganggap kebijakan sosial mereka dapat diterapkan di Amerika Serikat, maka tahun 1990an adalah masa ketika Amerika merasa tidak perlu belajar apa pun dari dunia di luar mereka. 11 September menghasilkan sebuah kombinasi ganjil dari kosmopolitanisme dan pandangan kacamata kuda. Di satu sisi kita merasa bagian dunia yang lebih luas, tetapi pada saat yang sama kita menganggap diri berbeda dengan umat manusia lainnya.
Ketika Alexis de Tocqueville berkunjung ke Amerika tahun 1830an, ia terkesan dengan keyakinan orang-orang Amerika sebagai “orang yang paling saleh, tercerahkan dan bebas di dunia,” dan merupakan “spesies terpisah dari ras manusia lainnya.” Kemerdekaan Amerika dinyatakan oleh orang yang penuh hasrat menyatakan “penghargaan sejati terhadap gagasan-gagasan umat manusia.” Bagaimanapun bukan tugas sejarawan mengatakan kepada warga negara lainnya tentang bagaimana seharusnya mereka berpikir dalam dunia penuh gejolak dan guncangan ini. Namun sudah menjadi tugas kita menegaskan bahwa studi sejarah seharusnya menjadi kekuatan melampaui batasan dan kekangan terhadap kebebasan dibanding mengukuhkan dan menciptakan kembali kekangan itu.
Menyusul pasca 11 September, sejarah yang kita ajarkan selayaknya menjadi cahaya yang memberi petunjuk tentang kekuatan dan kelemahan kita. Ia bukan cuma sorak-sorai kerumunan besar yang memuji diri sendiri. Kita membutuhkan dialog, bukan monolog, dengan dunia. Jika 11 September membawa kita lebih berpikir historis—bukan mitis—tentang bangsa dan peran Amerika di dunia, maka kita berharap sesuatu yang lebih baik akan lahir dari tragedi yang terjadi.