Membaca Sejarah – Klub Buku Kita 7 Oktober 2012

Klik gambar menuju sumber laman.
Penulis: Elizabeth Tata
Anggota Klub Buku bertemu lagi, Minggu 7 Oktober lalu. Agak istimewa karena diadakan di Semut-Semut the Natural School di daerah Cimanggis, Depok; bukan di rumah. Temanya tentang buku sejarah. Kami mengundang Andi Achdian, sejahrawan cum penulis untuk bicara; memberi masukan dan rujukan atau apapun yang terkait dengan bacaan yang menyoal sejarah.
Selain menulis di banyak media dan menjadi editor di Majalah Loka (www.loka-majalah.com). Hingga saat ini Andi telah menulis tiga buku yaitu: Tanah Bagi Yang Tak Bertanah (2008), Guru dan Secangkir Kopi (2010), dan yang terbaru: The Angle of Visions – Mereka yang tak menyerah pada sejarah (2012). Sehari-hari Andi bekerja sebagai Direktur Fair Institute di Jakarta. Ini sebuah lembaga kajian dan advokasi independen yang memperjuangkan gagasan keadilan dan kesejahteraan sebagai prinsip yang melatari agenda kebijakan publik di Indonesia. Situsnya bisa diakses di www.fair-institute.org
Ada 16 orang yang hadir. Bukan jumlah yang besar memang, tapi itu sudah cukup untuk membuat satu pertemuan yang menyenangkan, asyik, dan berisi. Kami berkumpul di ruang kantin sekolah. Meja dan kursi kami singkirkan. Kami memilih duduk di bawah pakai tikar. Melingkar. Piring-piring berisi combro dan cucur ada di hadapan kami. Air minum dalam kemasan juga tersedia. Boleh makan dan minum sembari ngobrol. Santai saja.
Suara burung dan kumbang yang bersarang di atas pohon-pohon besar yang menaungi kami terdengar ramai. Dari kejauhan ada bunyi musik mengalun, tidak terlalu keras jadi tak mengganggu. Arfi Destianti, Direktur Semut-Semut the Natural School bilang, setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, sekolah menyetel musik angklung. “Itu perlu supaya anak-anak tidak stress, setelah menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah yang jauh dan kadang macet.” ujarnya memberi alasan.
Anggota Klub Buku kami kebanyakan berprofesi sebagai guru sekolah dasar dan taman kanak-kanak. Mereka berasal dari beragam sekolah. Pada pertemuan kali ini ada perwakilan dari empat sekolah yang berbeda yaitu Semut-semut the Natural School, Sekolah Citra Alam Ciganjur, Little Earth School, dan Al Ikhsan. Lantas ada pula orang tua murid Semut-semut. Yang istimewa, kami kedatangan seorang penyair dan penulis bernama Sigit. Ia kami minta untuk cerita soal novel terbarunya yang berlatar belakang sejarah.
Andi Achdian, atau biasa dipanggil AA pandai bertutur. Ia memulai pembicaraan dengan menceritakan kebandelannya saat di bangku SMP. AA kecil sangat tidak suka pelajaran sejarah. Ia pun memilih membolos jika ada pelajaran sejarah.
Mendengar AA bicara
 
Ini awal yang menarik – setidaknya bisa menyamakan ‘derajat’ kami yang kebanyakan tak suka pelajaran sejarah. Tapi tentu saja, pertemuan kali ini bukan untuk sekadar bicara keburukan pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. AA mengajak untuk mengkritisi. “Ada tantangan dalam pendidikan sejarah di Indonesia,” ujarnya. “Di negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika, pelajaran sejarah itu suatu keharusan. Bahkan, jika mau naik tingkat, seorang murid harus lulus di mata pelajaran sejarah.”
Mengapa?
Itu semacam indoktrinasi. Sejak kecil anak-anak dicekoki pengetahuan soal betapa hebat negaranya. Pelajaran sejarah di sekolah-sekolah berkisah tentang negara mereka yang hebat dan orang-orangnya yang tak kalah jagoan karena telah melakukan ini dan itu – tidak saja bagi untuk negaranya sendiri, melainkan juga dunia. Segala informasi soal kehebatan bangsa dan negaranya itu memupuk harga diri anak-anak. Dan kelak, kemanapun dan dimanapun mereka berada, mereka punya kebanggaan. Harga diri itu pula yang nantinya jadi dasar untuk melanjutkan segala kebaikan dan kehebatan para pendahulu mereka. Tentu saja, melalui apapun profesi yang dipilih.
Dari sini sepertinya mulai ada pemahaman bahwa sejarah itu penting; ia ternyata adalah dasar bagi suatu bangsa untuk tumbuh dan bernegara.
Kata AA, ada tiga hal yang menjadikan pelajaran sejarah itu penting dan perlu diajarkan sejak dini, yaitu: untuk pembentukan karakter (character building), pendidikan kewarganegaraan (civic education), dan sebagai pengetahuan/kesadaran diri (knowledge) untuk memahami siapa diri kita. Yang terakhir ini biasanya baru dimengerti setelah seseorang berada jauh dari kampung halamannya. Saat itu barulah ia sadar perlunya menjawab pertanyaan-pertanyaan atau mungkin bercerita tentang jati-diri nya sendiri.
Sayang, pemahaman soal pentingnya mengajarkan sejarah di Indonesia belum utuh. AA menilai  tujuan pengajaran sejarah belum final. Sistem dan fondasinya pun belum kuat sehingga di lapangan guru-guru terpaksa harus melakukan riset sendiri untuk memperkaya pelajaran sejarah. Sejauh ini pelajaran sejarah masih berupa informasi; tanggal dan tahun sebuah peristiwa, nama tokoh-tokoh, nama tempat.
Itu semua belum cukup. Pelajaran sejarah harus menjadi suatu pengetahuan. “Kita terlalu banyak dijejali informasi dari sekolah dasar tapi tidak pernah menjadi sebuah pengetahuan.” Misalnya saja, kenyataan bahwa pelajaran sejarah di Indonesia hanya membahas perang-perangan, dari perang Diponegoro hingga perang melawan kolonialisme. Dan di akhir semua kisah perang itu, tentara adalah sosok utama-nya. “Barangkali itu sebabnya banyak pelajar suka tawuran,” ujar AA setengah bergurau.
Tanpa merendahkan peran tentara, menurut AA salah satu yang perlu digunakan saat mengajar sejarah adalah metode argumentatif – mengajak anak untuk diskusi. Untuk itu kata kunci yang harus selalu dilontarkan adalah “Mengapa?”. Ajak juga anak-anak untuk melihat masa lalu dengan berkunjung ke museum-museum. Membaca buku juga adalah salah satu cara terbaik untuk membawa diri ke masa lalu. Dengan catatan, tentu saja selalu bangun sikap kritis untuk semua bacaan tadi.
Masuk ke soal buku, kini buku-buku sejarah banyak hadir dengan pendekatan populer. Ini tentu menguntungkan pembaca karena memudahkan, membuat sejarah menjadi sesuatu yang tidak membosankan. Peran guru tentu saja penting. Ketika pendidikan sejarah rendah, rasa menghargai terhadap bangsa dan negara pun jadi rendah pula. Dampak negatifnya adalah munculnya pemahaman yang sempit terhadap peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh sejarah.
Buku karya AA yang kiranya mampu membuka mata soal apa guna paham sejarah berjudul: “Sang Guru dan Secangkir Kopi.” Ini buku tentang Onghokham, sejarawan Indonesia yang oleh AA disebut sebagai Sang Guru itu menyadarkan AA pentingnya memahami sejarah. Menurut AA, Ong yang keturunan Tionghoa dan mendapat pendidikan Belanda itu bukan sekadar punya kewarganegaraan Indonesia, ia adalah seseorang yang sungguh mencintai Indonesia lebih dari segalanya. “Indonesia adalah sebuah pembebasan”, begitu kata Ong pada AA.
Melalui pemahaman sejarah, Ong mendapati bahwa terbentuknya Indonesia membuat setiap warga negara Indonesia menjadi sama derajatnya. Keberadaan Negara Indonesia membebaskan bangsa Indonesia dari ikatan-ikatan primordial. “Jika tidak ada negara Indonesia, kita akan tetap berjalan terbungkuk-bungkuk di hadapan raja,” ujar Ong. Itulah sebabnya saat masih duduk di bangku sekolah HBS (Sekolah Menengah Belanda), saat dihadapkan pada pilihan kewarganegaraan, Ong adalah satu-satunya murid di kelasnya yang memilih untuk menjadi warga negara Indonesia – bukan Belanda.
Karya terbaru AA berjudul “The Angle of Vision: Mereka yang tidak menyerah pada sejarah” bercerita tentang delapan orang dalam rentang waktu satu abad. Mereka adalah Kartini, Sukarno, Soedjatmoko, Gunawan Wiradi, Onghokham, Imam Muhaji, Bre Redana, dan Linda Christanty. Kisah mereka menarik untuk disimak. AA mencontohkan kisah Kartini yang sejak usia 16 tahun sudah mengkritisi ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya melalui tulisan-tulisan dan korespondensi nya dengan temannya di Belanda. Lantas, kisah Sukarno yang memulai perjuangannya sendiri di usia belasan tahun saat berorasi mengecam kolonialisme Belanda di Bandung pada 1923.
Kisah delapan orang dalam buku The Angle of Vision memberi hikmah bahwa setiap orang pada kenyataannya menghadapi dilema-nya sendiri-sendiri. Ada banyak pilihan yang harus dipilih, namun hanya satu yang diambil meski dengan resiko tragis sekalipun. Ke delapan orang itu adalah mereka yang berani mengambil keputusan untuk memilih jalan sendiri meski berat perjalanan yang harus ditempuh.
Begitulah, AA mengajak anggota Klub Buku untuk mengunjungi sebuah negeri yang lain; negeri yang disebut sebagai “masa lalu” yang mengasyikkan, mencerahkan, dan bahkan mampu memberi harapan akan masa depan.
Kami, tentu saja keasyikan mendengar AA bicara dan bercerita. Beberapa kali ada yang menyela, bertanya, atau saling melontarkan gurauan. Antar peserta sendiri ada yang saling memberi saran atau rujukan. Pendeknya, obrolan siang itu hidup dan hangat.
Waktu berlalu cepat. Di penghujung acara, Lisa salah seorang koordinator Klub Buku menyampaikan resume diskusi. Kami mengucapkan terima kasih pada AA dan memberinya bumbu pecel cap Gentong. Ini bikinan Nuris Andri, anggota Klub Buku dan guru di Sekolah Citra Alam Ciganjur. Lisa juga memberi satu buku sumbangan dari Penerbit Marjin Kiri berjudul Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepulveda pada Fachmi, anggota baru Klub Buku dan guru di Sekolah Little Earth.
Sebelum pulang, kami menikmati gado-gado yang tersaji dan minum rujak degan/kelapa muda. Nikmat sekali.
Jadi, siang itu kami mendapat makanan bergizi bagi otak dan menyehatkan bagi badan. Terima kasih untuk semua! Sampai bertemu di pertemuan Klub Buku bulan depan 🙂
 
Kami berfoto usai diskusi

Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s