Pelajaran tentang manusia! Itulah arti sejarah bagi Ong. Sugesti itulah yang juga menggerakkan penulisan buku ini. Mengalir dalam sungai ingatan yang bening, Andi Achdian melabuhkan perjumpaan akademisnya dengan Ong ke sebuah teluk persahabatan yang produktif. Secangkir kopi, setumpuk buku dan isu politik mutakhir, menghasilkan percakapan produktif murid-guru.
Pikiran bermutu seorang guru dapat diakrabkan pada pembaca, justeru melalui uraian seorang murid yang memahami enersi psikis sang guru ketika menguraikan problem manusia dalam sejarah. Bagi Ong, sejarah bukan sekedar struktur, diskursus atau konstruksi sosial , tetapi terutama strategi kemanusiaan yang bekerja untuk mengevakuasi “sang manusia” dari tawanan metode analisis sejarah itu sendiri. Jelas dalam benak akademis Ong bahwa sejarah adalah jalan yang dilalui manusia untuk tumbuh menjadi subyek peradaban.
Proyek menemukan jalan sejarah itu sering harus ditempuh melalui lorong-lorong kecil kehidupan yang tidak tertera dalam peta besar disain sejarah. Begitulah misalnya Ong menelusuri kosmologi sejarah politik Indonesia melalui petunjuk jalan para “jago”, “kaum samin” dan bahkan “tuyul”. Dengan cara itu sejarah menjadi perjumpaan antar manusia. Sejarah menjadi percakapan kontemporer. Sejarah menjadi proyek revitalisasi gairah kemanusiaan.
Tentu saja peristiwa-peristiwa monumental dunia, revolusi dan pemberontakan, memberi kita semacam rumus sosiologi tentang logika sistem dunia atau tentang enersi dialektik yang sedang membentuk peradaban. Tetapi dalam labirin perubahan sosial yang rumit, realisasi dari enersi perubahan itu baru kita pahami setelah momentumnya selesai. Keterlambatan itulah yang sesungguhnya menghasilkan refleksi, entah penyesalan, kemarahan, atau justeru harapan dan kesetiaan baru.
Memahami sejarah dengan cara itu, Andi Achdian mengenang Ong sebagai cendekiawan yang terus bekerja dengan peralatan konseptualnya, dengan gairah pikiran bebasnya, demi memerdekakan manusia dari skema-skema final sosiologi dan disain-disain absolut antropologi.
Nampaknya Ong terus menyiramkan cahaya kemanusiaan kedalam analisa sejarah dengan terus memperhatikan kerlap-kerlip isu mikro dalam kosmologi politik Indonesia, dan dari situ berupaya menerangkan relevansi makro politiknya pada situasi kekinian kita.
***
Kekinian kita, dalam sudut pandang historis tadi memperlihatkan arah buruk politik kebebasan individu. Negara, dalam kosmologi politik hari ini, masih dibayangkan dalam model organis-absolutis. Ia tidak dibayangkan sebagai konstruksi hukum yang imparsial-impersonal, melainkan sebagai organ yang punya kepentingan sendiri, dan kepentingan itu dioperasionalkan oleh kekuatan yang berkuasa. Akibatnya, berbagai obsesi historis untuk merebut negara dan mengisinya dengan skema-skema final antropologis dan teologis tetap menjadi arus utama perpolitikan kita.
Tetapi bukan sekedar pada tataran metafisik itu konsep politik kita dioperasikan. Pada tataran material, kosmologi itu tumbuh menjadi politik oligarkis dengan tujuan pragmatis: merampok negara. Inilah “current history” kita, sesuatu yang juga menjadi perhatian Ong dan Andi Achdian ketika membahas persistensi pola-pola ekonomi politik Hindia Belanda dan Orde Baru, dan yang hari-hari ini juga makin menjadi-jadi dalam bentuk politik kartel dan politik dinasti, justeru ketika kita memutuskan mendirikan demokrasi.
Menghargai kebebasan individu dan mengupayakan institusi yang adil, nampaknya merupakan pokok kepedulian historis Ong. Ide revolusi Perancis, masalah politik tanah, dan pandangan sejarah peradaban yang dibentangkan dalam skema Barrington Moore dan Fernand Braudel, memperlihatkan posisi nilai Ong dalam mengaktifkan pandangan sejarahnya, yaitu tentang kebebasan dan keadilan. Siklus dan perubahan, kejutan dan subyektivisme aktor, adalah unsur-unsur historis yang memerlukan perhatian intensif seorang cendekiawan, dalam upaya memahami “sejarah manusia”. Pada obsesi itulah nampaknya percakapan Ong dan Andi Achdian tumbuh menjadi persahabatan intelektual lintas generasi.
Kita dapat melipatgandakan enersi percakapan itu kini, bila kita harus menghitung kebutuhan politik kita hari ini untuk mengevakuasi individu dari kerangkeng komunalisme kultur politik. Artinya, kita memerlukan tambahan “liberal mind”, untuk menandingi kepungan komunalisme yang membekukan imaginasi dan pilihan-pilihan individual dalam suasana konservatisme nilai hari-hari ini. Tentu, lebih dari dua cangkir kopi yang harus disajikan untuk mengorganisir potensi enersi kebebasan itu di masyarakat kelas menengah kita. Ketakutan kelas menengah untuk ikut serta secara terbuka dalam mengupayakan perubahan politik, adalah pertanda bahwa kemerdekaan individu belum tumbuh kendati kemerdekaan politik telah satu dekade kita selenggarakan. Fakta ini memperlihatkan suatu pelajaran sejarah: perubahan sosial harus ditempuh secara kualitatif: susunan pikiran, institusi dan norma publik harus sekaligus ditransformasikan. Di sinilah kerja intelektual bertemu dengan organisasi politik. Dalam sejarah kita, seperti dicatat Ong, diskoneksi itu, seperti yang terjadi pada era 1930an, ketika pemimpin-pemimpin pergerakan, Sukarno, Hatta, Sjahrir ditahan pemerintah kolonial, ide tentang kemerdekaan dan gerakan politik juga melemah. Gerakan, aktivisme, gagasan dan kepemimpinan harus tumbuh bersama dalam niat yang sama: transformasi politik yang kualitatif.
Dalam pandangan Ong, proses pembentukan gagasan ke-Indonesiaan, yaitu dalam upaya mentransformasikan Hindia Belanda ke dalam Indonesia Merdeka, telah dicapai dengan mengatasi kerumitan dan persaingan ideologi politik di awal abad 20 di tanah jajahan. Gagasan ke-Indonesiaan telah mengatasi patronasi ideologi dan obsesi-obsesi politik primordial ketika itu. Fakta keras ini memperlihatkan jejak republikanisme modern dalam imajinasi politik kita. Inilah modal peradaban kita sesungguhnya. Dan dalam paradigma republikanisme itulah kita menyelenggarakan pluralisme, toleransi dan politik kewarganegaraan. Pada titik ini kita mengevaluasi defisit nilai-nilai itu kini, akibat oportunisme, inkompetensi dan kebodohan politik.
Sekali lagi, melalui keterangan asal-usul historis itu kita menemukan sejarah intelektual kita, yaitu sebuah Indonesia yang diargumentasikan secara intelektual dan diorganisir melalui perjuangan politik modern: partai, rapat umum, dan opini publik. Sebuah Indonesia yang argumentatif, sesungguhnya telah ada cikal bakalnya jauh sebelum proklamasi diucapkan. Dalam kerinduan kemerdekaan pikiran itulah kita hari ini meratapi kepicikan “politik identitas” dan kedunguan elit politik kita dalam menyelenggarakan demokrasi.
***
Kendati ringkas dan sederhana, buku ini telah menghidupkan sejarah menjadi percakapan kebudayaan yang bermutu. Andi Achdian secara unik dan cerdas menyunting isu-isu penting dan sensitif dalam sejarah politik kita (tentang soal kekerasan pada tahun 1965 misalnya, sampai soal kekolotan fatwa MUI). Sambil menerangkan historisitas soal-soal itu, Andi Achdian dan Ong mengevaluasi kekinian kultur politik kita dalam sinisme akademik yang kuat. Percakapan evaluatif semacam ini menghasilkan pelajaran sejarah yang sesungguhnya: bahwa membaca peristiwa dan menghadapkannya pada problem kekinian, adalah satu upaya hermeneutis untuk memahami persoalan manusia dalam konfrontasi etis yang tak berkesudahan.
Bagi generasi masakini, yang sedang tumbuh dalam disorientasi ideologi, dialog dan perspektif evaluatif buku ini sungguh mensugestikan suatu harapan untuk terus mencintai Indonesia, dan bekerja serius mewujudkan sebuah bangsa yang argumentatif. Situasi politik dan kebudayaan kita hari-hari ini, sudah cukup menjadi alasan membayangkan sebuah perubahan kualitatif demi menyelenggarakan ide republikanisme yang sedang tersisih oleh berbagai transaksi politik koruptif.
Sesungguhnya, melalui buku ini, kita sedang membaca “sebuah cara membaca sejarah”. Yaitu percakapan historis yang dimaksudkan untuk membuka ingatan dan memproduksinya kembali untuk tujuan perubahan.
Berbagai isu politik, kebijakan ekonomi dan kekolotan keyakinan yang deras beredar di masyarakat kita hari-hari ini, telah menjadi isu laten politik kelas menengah. Legitimasi dan integritas terus merosot dalam kehidupan politik elit. Tema ini menjadi pembicaraan umum di seluruh negeri. Sejarah seperti sedang menulis “the beginning of the end”.
Dari cangkir-cangkir kopi yang sedang diseruput oleh kelas menengah Indonesia hari ini, harapan dan peluang itu disuguhkan oleh sejarah. Setiap generasi harus menulis sejarahnya sendiri.
Rocky Gerung – Pengajar Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.