Suasana diskusi buku Saling-Silang Indonesia Eropa. (mediasastra.com)
Saling-Silang Indonesia Eropa
Mediasastra.com 27 September 2012
Angin sore September berhembus pelan di kawasan Kemang, Jakarta. Sore itu, Sabtu, 23 September 2012, diskusi buku Saling Silang Indonesia-Eropa: dari diktator, musik, hingga bahasa karya Joss Wibisono dilangsungkan di Bremer Beer Garden. Pembahas diskusi ini adalah Farah Wardani, penulis dan peneliti seni, serta Andi Achdian, sejarawan. Diskusi yang dimoderatori oleh Ronny Agustinus dari penerbit Marjin Kiri ini juga dihadiri oleh pengarang.
Pembahas pertama dalam diskusi ini adalah Farah Wardani. Sebagai direktur IVAA, penulis dan peneliti seni rupa, Farah mengaitkan isi dari buku tersebut dengan sejarah seni rupa Indonesia. Ketika Farah membaca buku ini, dia mengingat beberapa karya dari seniman Indonesia berdasarkan per bab yang dia baca. Menurutnya, buku ini memberikan perspektif lain tentang sejarah Indonesia, terutama sejarah kolonial hingga Orde Baru.
Farah Wardani membagi beberapa topik yang dia temukan dalam Saling Silang. Pertama adalah “Saling Serap”. Menurutnya, ada hubungan saling mempengaruhi (antara Indonesia dan Eropa) dan sejarah yang ironis. Dalam topik ini, Farah Wardani mengaitkan dengan pameran bertajuk “Beyond The Dutch” tahun 2009 yang mana perspektif kolonialnya kuat sekali, seperti tidak disandingkannya Raden Saleh dengan Van Gogh yang merupakan kanon dunia. Bahasan kedua adalah “Yang Terhapus”, yakni usaha untuk mengungkap penghapusan beberapa fakta sejarah. Topik tersebut mengingatkannya pada Trubus, seniman pra-kemerdekaan yang dihilangkan. Topik berikutnya adalah “Nasionalisme dan Dosa-Dosa Kembali”, berbicara mengenai problematisasi nasionalisme; “Manipulasi dan Distorsi Sejarah” mengenai pergantian Ejaan Soewandi menjadi EYD; dan “Pararel Fasisme Eropa” yang menyatakan bahwa fasisme Orde Baru ternyata mengakar dari fasisme Eropa dan dunia.
Andi Achdian memulai pembahasan kedua dengan apresiasi terhadap penulis yang mampu menghadirkan rincian yang disukai sejarawan. Menurut Andi, melalui buku ini bisa dilihat bahwa Indonesia adalah bagian dari sejarah dunia. Selain membuka horizon, lanjutnya, buku ini juga enak dibaca. Melalui buku ini, Andi Achdian melihat bahwa penulisnya adalah orang yang nasionalis. Walaupun penulis meninggalkan Indonesia selama seperempat abad, dia mampu melihat hal-hal baru mengenai negara yang ditinggalkannya. Karakter penulis sebagai pencintai musik terlihat jelas pada bab-bab awal mengenai musik. Dalam empat bab pertama yang menurutnya banyak warna, dia tertarik saat mengetahui bahwa orkestra Barat pernah mengadopsi gending jawa. “Walaupun ada hal-hal kecil di bidang musik, ternyata berkaitan dengan hal-hal besar dalam sejarah dunia,” imbuh Andi Achdian.

Suasana diskusi Saling-Silang Indonesia Eropa. Mediasastra.com
Ejaan Soewandi Vs. EYD
Pertanyaan dari Ibu Eva yang notabene adalah teman SMA Joss meneguhkan pendapat bahwa Joss memang tertarik pada bahasa. Joss Wibisono yang dia kenal lebih suka menggunakan Ejaan Soewandi ketika menulis. Ketika sesi pembahasan berakhir, Ibu Eva mempertanyakan mengapa Saling Silang diterbitkan dalam EYD. Selaku pihak penerbit dan penyunting, Ronny Agustinus menjelaskan bahwa sebelum buku diterbitkan, ada perdebatan panjang lebar antara penulis dan editor. Bahasa sebagai alat politik Orde Baru jelas-jelas membuat pembaca generasi sekarang sulit mengakses buku-buku yang ditulis dalam Ejaan Soewandi. “Kalau kita memakai sesuatu yang tidak dikenal, apakah masyarakat umum akan memahaminya?” imbuh Ronny Agustinus.
Pernyataan mengenai kesulitan mengakses buku-buku dalam ejaan Soewandi juga dibenarkan oleh Farah Wardani dalam pembahasan poin ke empat-nya. Bab EYD dan Soewandi merupakan favorit Farah Wardani dalam buku tersebut. Sebagai generasi yang tumbuh semasa Orde Baru, Farah tidak pernah memikirkan bahwa ada sesuatu yang besar mengenai perubahan dan penggantian ejaan tersebut. Ketika membaca bab mengenai bahasa tersebut, Farah tersadar hal itulah yang membuat kita jauh dan tidak bisa berpikir dengan kerangka ejaan lama. Sentakan tawaran pemikiran Joss membuatnya menyadari bahwa ada suatu hal yang menghalangi orang-orang yang tumbuh dalam generasi Orde Baru untuk menggali yang lalu. Manipulasi dan distorsi sejarah itulah yang Farah lihat dalam dua bab mengenai bahasa dalam buku Joss Wibisono.

Joss Wibisono (tengah) menyimak diskusi bukunya. Mediasastra.com
Akhir diskusi Saling Silang Indonesia-Eropa ditutup oleh Joss Wibisono. Penulis bercerita mengenai latar belakang penulisan buku ini. Kecintaan Joss pada musik yang bisa dilihat dalam 4 tulisan pertama di buku ini bermula pada kegemaran Joss dengan musik opera. Dia tumbuh dalam keluarga penggemar musik klasik dan opera. Ketika Joss kuliah, dia menjadi mahasiswa yang ingin mengubah segala hal yang menurutnya tidak “baik”.
Bersama dengan Bre Redana, teman intelektual semasa kuliah yang juga menulis pengantar untuk Saling Silang, ketertarikannya dengan sejarah tumbuh. Dia menyadari pengalaman sebagai generasi Orde Baru hingga semua itu dia tuangkan ke dalam tulisannya. Joss ingin keluar dari penyeragaman yang dilakukan Orba. Begitu Joss pindah ke Belanda, perspektif-perspektif lain pun bermunculan. Perspekti-perspektif itulah yang dituangkannya dalam Saling Silang.
Setelah selesai bercerita, Joss menyerahkan cetakan pertama buku Saling Silang kepada adik ibunya. Keinginan Joss yang pada mulanya ingin menyerahkan cetakan tersebut kepada sang ibu kandas karena ibunya telah berpulang terlebih dahulu.