Pelajaran dari Kudeta Militer di Thailand

Selasa malam, tanggal 19 September 2006, angkatan darat Thailand menduduki kota Bangkok dan memberlakukan situasi negara dalam keadaan darurat. Mereka juga membubarkan parlemen, kabinet dan pengadilan konstitusi. Kudeta militer ini dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat, Jendral Sondhi Boonyaratkalin dan sekarang bertindak sebagai pejabat sementara Perdana Menteri Thailand. Jendral Sondhi mengklaim telah mendapat restu dari Raja Thailand dalam langkah-langkahnya. Di hadapan wartawan, Jendral Sondhi–dengan pakaian sipil–menyatakan pembentukan Dewan Reformasi Administrative dan menjanjikan akan ‘mengembalikan kekuasaan kepada rakyat’ tanpa menjelaskan kapan janji itu akan dilaksanakan. Kudeta ini terjadi setelah lima belas tahun kekuasaan pemerintahan sipil di Thailand, menyusul mundurnya penguasa militer dari panggung politik di Thailand.

Terdapat banyak faktor yang melatar belakangi kudeta itu. Selama beberapa bulan terakhir, politik dalam negeri Thailand memang tengah bergejolak. Demonstrasi-demonstrasi besar anti-Thaksin telah melanda ibukota berkait dengan skandal pajak sebesar 1.9 milyar dolar dari perusahaan telekomunikasi milik keluarga Thaksin. Berdasarkan skandal itu, kalangan oposisi telah berkali-kali menuntut Thaksin mundur. Bagaimanapun, Thaksin memiliki popularitas di kalangan penduduk miskin di negeri itu. Dalam pemilu tahun 2001 dan 2005, partai yang dipimpinnya–Thai Rak Thai, memenangkan suara mutlak yang mengantarkan Thaksin menuju panggung kekuasaan. Tidak mengherankan bila dalam krisis politik beberapa bulan belakangan ini, Thaksin telah menjadi orang paling populer dan sekaligus paling dibenci dalam politik Thailand. Kebijakan populisnya bagi masyarakat pedesaan telah memenangkan hati mayoritas penduduk negeri itu. Tetapi, skandal keuangan dan tuduhan korupsi telah menjauhkan dirinya dari pendukung kalangan kelas menengah perkotaan.

Terlepas dari segala kontroversi dalam politik dalam negeri Thailand, kembalinya golongan militer dalam politik bukanlah pertanda baik dalam arus demokratisasi global yang terjadi sekarang ini. Meskipun terdapat kesahihan dalam tuntutan kalangan oposisi, namun kudeta militer yang terjadi telah menjadikan Thailand mundur lima belas tahun dari kehidupan demokratisnya. Dalam perspektif politik regional, Thailand pada akhirnya menyusul posisi Burma yang dapat dikatakan telah menjadi ‘pariah’ dalam kehidupan politik regional di Asia Tenggara.

Perbandingan

Apakah kasus Thailand dapat pelajaran bagi kita yang tengah menjalankan periode transisi demokrasi di negeri ini? Sudah barang tentu jawabannya positif. Dalam sejarah politik Indonesia, kita memiliki pengalaman buruk akibat terjadinya kudeta militer. Didahului oleh kudeta yang dilancarkan Lt. Kolonel Untung, dan disusul oleh kontra-kudeta dibawah pimpinan Mayor Jendral Suharto, pada akhirnya Indonesia mengalami tiga puluh tahun lebih kehidupan politik otoriter. Lt. Kolonel Untung melancarkan kudeta atas keprihatinannya terhadap korupsi yang melanda pimpinan angkatan darat, sehingga muncul pandangan bahwa peristiwa 30 September 1965 adalah peristiwa ‘internal’ dalam tubuh angkatan darat. Ada kemiripan dalam langkah Untung dan langkah yang dilakukan oleh Jendral Sondhi. Keduanya telah menyuarakan masalah korupsi sebagai pembenaran mereka melakukan aksi-aksinya. Kemudian Untung juga membentuk Dewan Revolusi–tidak berbeda dengan Dewan Reformasi Administrasi buatan Sondhi–yang diharapkan dapat membenahi masalah-masalah dalam negeri Indonesia saat itu. Keduanya juga telah membekukan parlemen dan membubarkan kabinet melalui pembentukan dewan-dewan itu.

Langkah Untung kemudian dilanjutkan oleh Suharto dan rejim pemeriintahannya telah menjadi penerima berkah dari gejolak krisis politik yang terjadi saat itu. Pemerintahan di bawah Suharto pada awalnya–seperti yang menjadi masalah politik di Thailand saat ini–juga mendapat dukungan dari kalangan kelas menengah perkotaan, seperti ditunjukan dalam aksi-aksi mahasiswa, dan juga dukungan dari kalangan intelektual dan politisi yang berlawanan dengan Sukarno pada saat itu. Pemerintahan Sukarno yang populis semakin tidak disukai oleh golongan kelas menengah itu, yang mulai merasa lelah dan merasa berhak menikmati beberapa kemajuan yang dicapai setelah pembentukan pemerintahan republik pasca-revolusi. Kekuatan penting lainnya adalah pemerintahan Suharto telah mendapat dukungan dari dunia barat yang semakin khawatir terhadap pemerintahan Indonesia di bawah Sukarno yang dianggap akan menjadi negara komunis lainnya di Asia saat itu, dan ini nampaknya menjadi perbedaan dalam peristiwa kudeta yang terjadi di Thailand saat ini.

Pelajaran

Bagi kita yang tinggal di Indonesia saat ini, peristiwa kudeta militer di Thailand telah menjadi contoh buruk pengalaman berdemokrasi di kawasan Asia Tenggara. Dan kita yang telah mengalami tiga dekade kekuasaan otoriter jelas menolak cara-cara pengambilalihan kekuasaan melalui kudeta militer. Peristiwa itu juga sekaligus menjadi bahan pelajaran berharga buat kita semua. Bagaimanapun kaum militer dalam kudeta mereka tidak pernah bekerja sendiri. Selalu ada elemen pendukung sipil di dalamnya, baik di dalam maupun di luar negeri. Kaum militer–seperti di Thailand–juga telah memanfaatkan sentimen-sentimen populer seperti korupsi dan ketidakbecusan pemerintah yang seringkali menjadi isu populer di kalangan kelas menengah–terlepas dari dukungan suara rakyat lewat pemilu–untuk menggusur pemerintahan sipil yang tidak disukai.

Bagaimana peristiwa kudeta di Thailand menjadi pelajaran bagi kita semua. Pertama, kita harus tetap kritis dalam menerima dan mengolah informasi. Media massa sekarang ini dapat pula digunakan sebagai sarana penyebar kebohongan dan disinformasi. Kedua, kita juga harus senantiasa awas atas kelelahan rakyat terhadap politik, atau apa yang dikatakan banyak sejarawan sebagai gejala ‘revolutionary fatigue’. Artinya, orang sudah jenuh merespon masalah politik dan membiarkan semua terjadi seperti apa adanya, termasuk perubahan politik yang merugikan kehidupan mereka sekalipun. Ini akibat terlalu banyak mobilisasi–dalam bentuk opini dan aksi–politik yang mengatasnamakan rakyat, dan membawa rakyat dalam agenda-agenda itu, dengan sedikit saja perubahan yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Dengan kata lain, kita di Indonesia saat ini harus awas dengan gejala ‘reform fatigue’ yang mungkin terjadi, sehingga kita malas dan sulit melangkah untuk mempertahankan dan memperbaiki kehidupan demokrasi di Indonesia.

Komentar

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s