Pendahuluan
Pada akhir dekade 1980an, terjadi sebuah perubahan menarik dalam koridor politik Indonesia. Jenderal Purnawirawan Suharto, yang menjadi presiden Republik Indonesia sejak angkatan darat mengambil alih kekuasaan pada tahun 1965, mengadakan kunjungan ke tanah suci Mekkah dan menunaikan ibadah haji. Bagi kebanyakan orang Indonesia, langkah yang dilakukan Suharto sepertinya wajar saja. Ia merupakan cita-cita wajar bagi kebanyakan orang Indonesia, apalagi memiliki kemampuan finansial untuk melakukannya, untuk melengkapi kewajiban rukun Islam kelima pada masa tuanya.
Tetapi yang menjadikan ibadah haji Suharto istimewa adalah langkah tersebut menandai pula perubahan sikap dan politik rejim Orde Baru, termasuk budaya politik masyarakat Indonesia memasuki masa-masa akhir kekuasaan rejim tersebut, dengan dukungan terbuka rejim terhadap Islam. Secara terbuka, Suharto memberi restu pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin, B.J. Habibie (kemudian menjadi presiden ketiga Indonesia menggantikan Suharto) yang bagi para pengamat, ini adalah manuver politik presiden merangkul kalangan Islam sebagai dukungan politik bagi rejim yang dipimpinnya dengan menyadari lemahnya dukungan dari kalangan tentara yang pada beberapa dekade sebelumnya membawanya ke puncak kekuasaan.[1]
Manuver itu menampilkan efek dominonya. Apabila pada masa sebelumnya hampir dipastikan bahwa para pejabat publik di Indonesia menghindar dari segala sesuatu yang berkait dengan bendera Islam, sejak saat itu ucapan salam dalam tradisi Islam selalu terdengar dalam setiap acara-acara resmi negara. Bahkan ucapan Assalamualaikum menjadi kalimat awal yang akan terdengar dalam jawaban telepon seseorang menggantikan kata ‘Halo’. Sejak awal dekade 1990an, busana pakaian perempuan muslim pun menjadi mode yang semakin populer di Indonesia, dipakai para selebriti dan termasuk istri-istri pejabat dalam beragam acara publik. Ini adalah suatu gambaran yang sama sekali tak terbayangkan pada era 1970an dan awal 1980an ketika rejim Orde Baru berada dalam puncak kekuasaannya dan manifestasi keagamaan Islam dihindari, kalau tidak direpresi sebagai tindakan mengatasi “ekstrim kanan” dalam bahasa politik rejim saat itu.
Bagi para pengamat politik Indonesia, tindakan Suharto bukanlah sebuah indikator bahwa sang presiden telah menjadi lebih saleh dan karenanya memiliki perhatian lebih pada kehidupan agama menjelang masa tuanya. Ia lebih mewakili sebuah tindakan politik brilyan dari seorang pemimpin, dengan latar belakang militer, yang telah semakin kehilangan pengaruh dan kontrol terhadap lembaga yang menjadi penopang utama kekuasaannya. Lebih dari sekedar sikap pribadi, langkah itu tidak lain merupakan sebuah upaya memberi ruang hidup bagi satu kelompok, yang mewakili kekuatan sipil di Indonesia, untuk memperkuat kedudukan dan legitimasi politik Suharto vis a vis militer.
Tindakan yang dilakukan Suharto memberi kita sebuah petunjuk menarik tentang fenomena Islam di Indonesia, khususnya berkait dengan dinamika politik dan persaingan antara elite politik memperebutkan pengaruh dan kekuasaan di Indonesia. Pertama, ia membuktikan bahwa produksi dan reproduksi wacana Islam dalam manuver politik tetap merupakan sebuah langkah yang efektif di Indonesia seperti yang pernah dilakukan Suharto. Kedua, dan ini cukup menarik serta membentuk topik utama tulisan ini, adalah sebuah keganjilan dalam politik Indonesia berkait dengan Islam. Meskipun fenomena yang dilakukan Suharto dianggap sebagai kebangkitan “politik Islam” di Indonesia, tetapi cukup jelas bahwa ada batas-batas tertentu, sebuah batasan yang cukup rumit dan halus sepanjang sejarahnya, yang membentuk tali kekang dari sifat politik Islam di Indonesia.
Langkah Suharto boleh jadi membuka keran kemunculan ekspresi popular Islam dan tradisi populernya dalam koridor politik Indonesia. Tetapi ia tidak bergerak lebih jauh menjadi sebuah perwujudan cita-cita sebuah negara Islam seperti yang pernah lahir dalam berbagai gerakan politik yang berusaha mewujudkannya dalam sejarah modern Indonesia setelah terbentuknya negara republik yang merdeka. Istilah populer Islam yes, politik no seperti yang pernah dilontarkan cendekiawan muslim terkemuka, Nurcholish Madjid, barangkali mewakili fenomena ini.[2]
Dalam lensa sejarah yang lebih panjang, setelah era kesultanan Demak yang berkuasa di Jawa dalam waktu relatif pendek[3], hampir dapat dikatakan bahwa tidak lagi pernah ada sebuah bentuk sistem politik yang menjalankan hegemoni kekuasaannya dengan membawa bendera Islam di Indonesia.[4] Tetapi ini tidak secara otomatis menyatakan bahwa Islam sama sekali tidak memberi pengaruh bagi perkembangan politik di Indonesia. Ulasan bersifat anekdotal terhadap politik kontemporer Indonesia memberi petunjuk tentang ini. Dalam satu kesempatan, presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang juga menjadi ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, pernah menyatakan bahwa Partai Demokrat memiliki orientasi ideologis sebagai partai “nasionalis-religius”. Apa yang disebutnya sebagai “religius” sudah barang tentu adalah agama Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia. Sebaliknya, sebuah pameo populer di kalangan politisi Nahdlatul Ulama yang mewakili para santri dan kyai Islam di Jawa, dan disuarakan lantang mantan presiden Abdurahman Wahid, bahwa NU adalah sebuah organisasi dengan visi “religious-nasionalis.” Ini menjelaskan keinginan Wahid yang tidak mengharapkan kekuatan politik Islam terisolasi dari arus utama koridor politik Indonesia.
Begitu juga dengan kecanggungan yang dialami para politisi Partai Keadilan Sejahtera, yang mengambil model Partai Keadilan di Turki dalam praktek dan orientasi politik mereka di Indonesia sekarang ini, terhadap posisi ideologis mereka sendiri. Dalam sebuah kesempatan, para petinggi partai tersebut telah melontarkan sebuah gagasan tentang PKS sebagai “partai terbuka” yang menimbulkan kontroversi di dalam tubuh partai itu, sekaligus tanggapan skeptis lawan-lawan politik mereka yang mencurigai motif politik sesungguhnya dari partai tersebut.[5] Bagi lawan-lawan politiknya, PKS tidak lain adalah perwujudan paling moderat dari cita-cita kekuatan sempalan Islam di Indonesia yang menginginkan pembentukan sebuah negara Islam dalam perjuangan politiknya.[6]
Bertolak dengan keganjilan-keganjilan seperti itu saya mencoba menelusuri dinamika politik Islam di Indonesia dengan menelusuri kembali perkembangan awalnya sejak agama Islam menancapkan pengaruhnya di kepulauan Nusantara, khususnya pulau Jawa yang menjadi batasan analisis dalam tulisan ini. Pertanyaannya adalah setelah Islam menjadi sebuah agama yang dominan di kalangan penduduk pulau Jawa sejak abad ke-17, kekhususan seperti apa yang terjadi dalam perjalanan sejarah perkembangan agama itu yang membedakan dengan perkembangan negara-negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam di tempat lainnya? Mengapa sejak penyebarannya yang semakin luas di kalangan penduduk, kekuatan Islam justru semakin mundur dari panggung politik di pulau Jawa sampai dengan periode kontemporer di Indonesia sekarang? Dan apa yang menjadi kontribusi Islam terbesar dalam pembentukan negara Indonesia modern sekarang ini? Uraian terhadap dinamika politik Islam ini akan mengambil rentang waktu yang panjang yang merentang sejak awal abad ke-12 sampai abad ke-20 untuk sebagai cara menunjukkan dinamika internal perkembangan politik Islam di Indonesia, dan Jawa khususnya. (Klik di sini untuk selengkapnya).
[1] Adam Schwarz. A Nation in Waiting. Indonesia’s Search for Stability. Allen & Unwin, Australia. 1999. Bandingkan Bilveer Singh. Habibie and the Democratization of Indonesia. Book House, Sydney. 2001.
[2] Yudi Latif. Indonesian Muslim. Intelligentsia and Power. Institute of Southeast Asian Studies, Singapore. 2008.
[3] Periode waktunya dimulai sejak Raden Patah ditahbiskan sebagai Sultan Demak pada 1527 dan berakhir dengan munculnya kerajaan baru, Pajang pada 1581 yang menandai berakhirnya era kesultanan Demak dalam sejarah dinasti politik di Jawa.
[4] Sudah barang tentu ada beberapa pengecualian dengan keberadaan kesultanan Islam di Sumatera dan pulau-pulau lain di Indonesia seperti Maluku, Sulawesi dan Banjarmasin. Tulisan ini membatasi analisisnya pada perkembangan di Jawa dengan memperhatikan besarnya pengaruh kesultanan itu dalam konstelasi politik Nusantara, nama Indonesia pada masa itu.
[5] Serangan dari dalam terhadap elite partai tersebut telah muncul melalui tuduhan korupsi yang dilontarkan pendiri partai yang tersingkir dari arus utama politik PKS, Yusuf Supendi, termasuk juga tuduhan para petinggi sekarang ini telah kehilangan semangat yang membentuk visi PKS seperti dalam awal pembentukan partai tersebut. Yusuf Supendi. Replik Pengadilan. Yusuf Supendi Menggugat Elite PKS. Komunitas Bambu, Jakarta. 2012.
[6] Perkembangan yang terjadi di Mesir saat ini dengan penolakan dari kalangan sekuler terhadap kekuatan politik Ikhawnul Muslimin memberikan gambaran tentang bagaimana bentuk kecurigaan lawan-lawan politik PKS dari kalangan sekuler terhadap partai tersebut di Indonesia.